Keboncinta.com- Di balik kesederhanaan bangunan pesantren, terdapat satu ruang yang jarang disebut namun menyimpan kekuatan luar biasa, yaitu dapur.
Bukan sekadar tempat memasak, dapur pesantren adalah perpanjangan tangan cinta yang menyala setiap hari.
Asapnya mengepul bukan hanya dari kayu bakar, tetapi dari bara keikhlasan dan ketulusan yang tak pernah padam.
Baca Juga: Mengapa Menjaga Adab di Hadapan Guru Itu Penting? Ini Penjelasannya
Para kiai dan pengurus pesantren tak pernah sibuk mencatat berapa porsi nasi yang diambil santri. Tak ada nota belanja yang harus dipertanggungjawabkan secara rinci kepada siapa pun.
Siapa yang lapar, siapa yang sudah makan, siapa yang belum, semua dijamu tanpa kalkulasi. Karena di pesantren, urusan makan bukan soal angka, tapi soal hati. Dan kenyang bukan hasil perhitungan, tapi limpahan kemurahan.
Tradisi makan gratis ini telah hidup jauh sebelum negara mengenal istilah subsidi. Ia lahir dari keyakinan mendalam bahwa memberi tak akan membuat kekurangan.
Baca Juga: Santri Zaman Now Perlu Pintar Berwirausaha: Inilah Visi Besar Pesantren Kebon Cinta
Para kiai tak menunggu ada anggaran, proposal, atau sponsor. Mereka percaya, bahwa cukup dengan niat baik dan keyakinan kepada Allah, semua akan tercukupi.
Keikhlasan di dapur pesantren tidak bisa diukur dengan standar operasional modern. Tak ada SOP untuk ikhlas, tak ada audit untuk niat.
Apa yang dikerjakan ibu-ibu dapur dan santri yang bertugas memasak adalah amal yang tak tertulis, tapi menghidupkan.
Baca Juga: Di Era Digital Masih Ada yang Mau Mesantren, Begini Kata Penggagas Pesantren Wirausaha Kebon Cinta
Sebab, memberi makan di pesantren bukan kegiatan sosial, tapi ibadah. Dan seperti semua ibadah, ia mesti suci dari pamer, dari hitung-hitungan, dari ekspektasi balasan.
Kita mungkin akan bertanya, dari mana mereka membiayai semua makanan itu? Jawabannya tidak rumit, dari keberanian untuk tidak menghitung.
Sebab dalam memberi, yang paling berat bukanlah mengeluarkan, melainkan berhenti menghitung.
Dan karena itu, dapur pesantren mampu bertahan bahkan ketika banyak institusi goyah. Sebab di sana, nasi disajikan dengan doa, bukan dengan daftar anggaran.
Dapur itu tak hanya memberi makan, tapi juga mengajarkan makna cinta, keikhlasan, dan keyakinan.
Nilai-nilai yang tak tertulis di papan rencana, tapi abadi dalam setiap suapan yang penuh keberkahan.***