keboncinta.com-Kementerian Kebudayaan belakangan ini tengah menjadi sorotan publik terkait agenda penulisan ulang sejarah Indonesia. Salah satu topik yang paling hangat dibicarakan adalah klaim bahwa Belanda telah menjajah Indonesia selama 350 tahun, atau 3,5 abad.
Angka ini kerap diulang-ulang, terutama dalam buku pelajaran, pidato, hingga obrolan masyarakat umum, seolah-olah menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan. Namun, benarkah Indonesia dijajah Belanda selama itu?
Klaim penjajahan selama 350 tahun sesungguhnya merupakan penyederhanaan sejarah yang terlalu kasar. Jika ditelusuri secara lebih jeli, pendudukan Belanda di wilayah-wilayah yang kini menjadi bagian dari Indonesia terjadi secara bertahap, tidak sekaligus, dan berlangsung pada periode yang sangat berbeda satu sama lain.
Lebih penting lagi, konsep “Indonesia” sebagai negara kesatuan belum ada pada masa itu. Yang ada hanyalah kerajaan-kerajaan otonom seperti Mataram, Gowa, Aceh, Banten, dan lainnya, yang memiliki sistem pemerintahan sendiri-sendiri.
Sejarawan dan jurnalis senior Mochtar Lubis pernah menyoroti hal ini dengan tajam. Ia mengingatkan bahwa dominasi Belanda tidak terjadi secara serempak di seluruh wilayah Nusantara.
Misalnya, Kerajaan Aceh baru berhasil ditaklukkan Belanda pada tahun 1913 setelah perang panjang yang heroik. Tanah Batak di Sumatera Utara baru dikuasai Belanda pada 1907, sementara Perang Diponegoro di tanah Jawa berlangsung hingga tahun 1829.
Di sisi lain, banyak daerah seperti sebagian wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara, atau Papua yang bahkan belum tersentuh kolonialisme Belanda hingga dekade-dekade terakhir menjelang kemerdekaan.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa tidak semua wilayah di Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Menggeneralisasi pengalaman penjajahan menjadi satu angka tunggal justru berpotensi mengaburkan perjuangan lokal yang penuh warna dan kompleksitas.
Klaim “350 tahun dijajah” bukan hanya menyederhanakan sejarah, tetapi juga secara tidak langsung menyampaikan narasi inferioritas bangsa, seolah-olah kita menjadi korban pasif selama lebih dari tiga abad tanpa perlawanan berarti.
Karenanya, agenda penulisan ulang sejarah Indonesia menjadi hal yang penting. Disamping untuk menghilangkan bias fakta masa lalu juga untuk menguatkan jatidiri bangsa. Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi fondasi jati diri bangsa. Dengan sejarah yang ditulis secara lebih akurat dan proporsional, generasi muda akan tumbuh dengan pemahaman yang lebih tepat tentang bangsanya.***