Keboncinta.com- Di tengah maraknya seminar parenting, konten edukasi pengasuhan, dan beragam pelatihan ayah-bunda, tak sedikit yang lupa bahwa pendidikan paling dalam sebenarnya tidak datang dari ceramah, melainkan dari contoh nyata di rumah.
Dulu, para orang tua tak dibekali teori komunikasi efektif atau pelatihan psikologi anak. Mereka tidak membaca buku parenting atau menonton video motivasi pengasuhan.
Tapi anak-anak mereka tumbuh dengan adab, tahu bagaimana menghormati yang lebih tua, tahu kapan harus diam, dan tahu batas antara benar dan salah.
Baca Juga: Laptop doang MAHAL tapi gak ngerti SHORTCUT
Mengapa bisa begitu?
Karena sejak kecil mereka menyaksikan langsung teladan hidup di depan mata. Ayah mereka bangun malam bukan karena ingin dipuji sebagai pribadi religius, tapi karena rindu kepada Tuhan.
Ibu mereka tak banyak berkata-kata, namun sekali bicara, cukup untuk membuat anak-anak menunduk hormat.
“Anak-anak adalah peniru ulung,” ujar Ustaz Abdurrahman, salah satu pengajar di Pondok Pesantren Wirausaha Kebon Cinta. “Apa yang mereka lihat setiap hari jauh lebih membekas daripada apa yang mereka dengar sesekali.”
Baca Juga: “Setiap Anak Istimewa : Menghapus Stigma Anak Nakal dan Nilai Rendah”
Saat ini, banyak orang tua fasih berbicara tentang pentingnya akhlak, tapi lupa menjadi contoh nyata dari akhlak itu sendiri.
Ayah sibuk dengan pekerjaan, ibu sibuk dengan layar. Anak-anak pun tumbuh dalam kebingungan: harus meniru kata-kata yang mereka dengar, atau perilaku yang mereka lihat?
Pakar pendidikan karakter, Ibu Nuraeni, menambahkan bahwa keteladanan adalah unsur paling penting dalam pendidikan adab.
“Orang tua mungkin lelah, sibuk, atau tidak sempurna. Tapi ketika mereka jujur, sabar, dan konsisten dalam bersikap, anak-anak akan merekam itu sebagai fondasi kepribadian mereka,” katanya.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa peran ayah dan ibu bukan sekadar sebagai pemberi aturan, tapi sebagai figur yang dicontoh dan diteladani.
Pendidikan sejati bukan hanya soal transfer ilmu, tapi penanaman nilai dan nilai itu tumbuh dari sikap, bukan dari ceramah.
Kini, saat dunia semakin bising dengan nasihat dan petuah digital, mungkin sudah waktunya kita kembali menunduk dan bertanya pada diri sendiri. Sudahkah kita menjadi teladan, atau hanya pandai berkata-kata?***