Narasi Bisa Menipu: Saat Kebatilan Punya Tersistem, Kebenaran Akan Terpinggirkan

Keboncinta.com- Dalam era di mana informasi bergerak cepat dan persepsi publik dibentuk oleh narasi yang viral, kebenaran bukan lagi jaminan untuk menang.

Justru, kebatilan yang tersusun dalam sistem yang rapi dan terorganisir kini semakin mendominasi ruang publik, menggeser posisi kebenaran ke pinggir peradaban.

Fenomena ini menjadi peringatan keras bagi masyarakat, khususnya para pejuang nilai dan kebenaran.

Baca Juga: Asal Usul Klenteng Talang Kota Cirebon:  Awalnya Berupa Masjid Kemudian Menjadi Klenteng

Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Forum Pemikir Muda Nusantara (FPMN), para pakar menegaskan bahwa sistem yang kuat, mencakup media, pendidikan, organisasi, hingga birokrasi, telah menjadi penentu arah opini publik dan kebijakan sosial.

“Banyak orang percaya bahwa kebenaran akan menang dengan sendirinya. Sayangnya, sejarah dan kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya,” ujar Ust Abdurrahman, Pengajar di Pondok Pessantren Wirausaha Kebon Cinta.

“Kebenaran tanpa sistem adalah idealisme yang mudah runtuh. Kebatilan dengan sistem bisa terlihat seperti kebenaran.”

Baca Juga: Menjadi Santri Sejati lewat Kepatuhan dan Ketaatan

Menurutnya, media sosial saat ini menjadi salah satu contoh paling gamblang bagaimana narasi bisa dimanipulasi.

Melalui algoritma, iklan, dan kampanye terstruktur, kelompok-kelompok dengan kepentingan tertentu mampu membentuk opini publik yang jauh dari substansi kebenaran.

Tak hanya di dunia digital, kebatilan juga menyusup lewat sistem pendidikan dan ekonomi. Kurikulum yang minim nilai-nilai moral, serta model bisnis yang hanya mengejar keuntungan tanpa etika, perlahan mengikis pemahaman masyarakat tentang mana yang benar dan mana yang salah.

Baca Juga: Cegah Daftar Ulang SPMB Menjadi Ajang Pungli: Ini Langkah Pengawasan dari Ombudsman

Contoh lain terlihat dalam konflik-konflik global dan nasional. Gerakan yang membawa nilai kemanusiaan atau keadilan sering kali gagal berkembang karena kurangnya sistem manajemen, kepemimpinan strategis, dan dukungan institusional.

Sementara itu, kekuatan yang bertujuan mempertahankan status quo, dengan dana besar dan jaringan luas, mampu mengontrol opini dan kebijakan.

“Sistem bukan pesaing dari nilai-nilai kebenaran. Justru ia adalah kendaraannya,” ujar Ust. Abdurrahman. “Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya berdakwah, tetapi juga membangun sistem negara di Madinah. Ini menjadi pelajaran penting bagi kita: bahwa kebenaran harus dibungkus dengan strategi dan sistem yang kokoh.”

Diskusi ini menggarisbawahi bahwa perjuangan nilai tak bisa lagi sekadar mengandalkan semangat dan retorika.

Kini, saat kebatilan memiliki tatanan yang rapi dan didukung teknologi serta sumber daya, para pejuang kebenaran harus bangkit membangun sistemnya sendiri dari pendidikan, komunikasi, hingga organisasi sosial-politik yang solid.

Tanpa itu, kebenaran akan terus terpinggirkan oleh narasi kebatilan yang dikemas rapi dan dipromosikan secara sistematis.***