Keboncinta.com- Tujuh tahun lalu, sebuah kebijakan tak lazim muncul dari Pesantren Wirausaha Kebon Cinta. Study tour, wisuda, dan prosesi kelulusan yang lazim diadakan di hampir semua lembaga pendidikan, justru dihapuskan.
Saat itu, Sang Penggagas Pesantren seolah memilih berjalan di jalan sunyi sehingga kebijakan tersebut mengundang banyak cibiran, terutama dari para wali santri.
Namun, di balik keputusan tersebut, tersimpan filosofi mendalam yang tak sekadar tentang penghematan, tetapi tentang keadilan dan cinta.
Baca Juga: Santri Kaleng-kaleng, Kosong Isinya, Nyaring Bunyinya
Ketua Yayasan Pesantren Kebon Cinta, Nyai Hajah Ade Laelina, menjelaskan bahwa keputusan ini lahir dari pengalaman pribadi Sang Penggagas yang pernah terpaksa meninggalkan pesantren karena keterbatasan ekonomi.
“Kebon Cinta ini dibangun di atas pengalaman santri yang hidup dengan mode minimalis, syahriyah sering tertunggak, dan jauh dari perhatian orangtua karena keterbatasan biaya dan jarak,” ujarnya kepada TentangGuru.com.
Kegiatan hataman—yang biasanya dijadikan momen eksibisi hafalan para santri—juga hanya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar sudah hafal.
Tidak ada rekayasa hafalan untuk sekadar tampil di depan orangtua. Bahkan pelaksanaannya pun dibuat sesederhana mungkin, dan bisa diangsur biayanya sesuai kemampuan orangtua.
“Kami tidak ingin menggembirakan sebagian santri dengan melukai hati yang lain,” kata Nyai Hajah Ade menegaskan.
Bagi Pesantren Kebon Cinta, keadilan sosial lebih penting daripada seremonial yang mengesankan, tapi tidak ramah bagi semua kalangan.
Pesantren tidak ingin menjadi tempat yang hanya memamerkan pencapaian sesaat, sementara sebagian santri atau orangtua harus menanggung rasa tidak mampu.
“Kalau ingin memberangkatkan anak untuk study tour, silakan saja saat libur. Tapi bukan pesantren yang mengatur dan memaksa semua harus ikut,” tambahnya.
Menanggapi kritik dari orangtua yang ingin anaknya tampil di acara hataman meski belum hafal, pesantren justru mendorong agar itu dijadikan semangat, bukan paksaan.
Bagi mereka, “showtime” sejati santri bukan di panggung seremonial, melainkan di tengah masyarakat, saat ilmu dan akhlaknya benar-benar bermanfaat.
Di tengah maraknya lembaga yang berlomba mengekspose prosesi pendidikan di media sosial, Pesantren Kebon Cinta memilih untuk setia pada nilai dan prinsip.
Sebagaimana dikatakan Nyai Hajah Ade Laelina dengan mengutip Sang Penggagas, “Kebon Cinta ini dibangun di atas cinta. Dan cinta akan menyentuh hati siapa pun yang di dalam dirinya ada cinta.”***