Pergeseran Media Sosial ke Algoritma: Dampak Negatif pada Pengguna dan Masyarakat

keboncinta.com– Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah mengalami transformasi signifikan dengan semakin dominannya algoritma dalam mengatur konten yang dilihat oleh pengguna.

Algoritma ini dirancang untuk meningkatkan engagement (tingkat keterlibatan atau interaksi yang terjadi antara sebuah merek atau individu dengan audiens atau pengikutnya) dengan memprioritaskan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna.

Namun, di balik manfaat personalisasi, muncul berbagai dampak negatif seperti polarisasi politik, ketergantungan digital, dan penyebaran misinformasi.

Baca Juga: Sekolah, Ngaji, dan Belajar Bisnis? Semua Bisa di Pesantren Kebon Cinta!

Artikel ini akan membahas bagaimana pergeseran media sosial ke algoritma memberikan dampak yang kurang baik, dengan merujuk pada berbagai studi ilmiah terkait. 

1. Algoritma dan Fenomena Filter Bubble 

Salah satu dampak utama dari algoritma media sosial adalah terciptanya “filter bubble” sebuah lingkungan digital di mana pengguna hanya terpapar informasi yang disaring oleh platform media sosial berdasarkan pencarian atau tontonan mereka sebelumnya.

Pariser (2011) dalam bukunya “The Filter Bubble” menjelaskan bahwa algoritma cenderung mengisolasi pengguna dari perspektif yang berbeda, memperkuat bias konfirmasi dan mengurangi pemaparan pada informasi yang beragam. 

Studi oleh Flaxman et al. (2016) dalam Proceedings of the National Academy of Sciences menemukan bahwa pengguna media sosial lebih cenderung mengonsumsi berita yang sejalan dengan ideologi mereka, yang pada akhirnya memperdalam polarisasi politik.

Baca Juga: Bangun Jam 3 Pagi, Santri Kebon Cinta Latih Diri Lawan Kenyamanan

Hal ini diperparah oleh algoritma rekomendasi yang secara otomatis menyarankan konten serupa, sehingga pengguna seperti terjebak dalam ruang gema (echo chamber). 

2. Penyebaran Misinformasi dan Hoaks

Algoritma media sosial juga berkontribusi pada penyebaran misinformasi karena dirancang untuk memprioritaskan konten yang viral dan memicu emosi.

Sebuah penelitian oleh Vosoughi et al. (2018) dalam Science menunjukkan bahwa berita palsu menyebar lebih cepat dan lebih luas daripada berita faktual, terutama karena algoritma cenderung mendorong konten yang memicu keterlibatan tinggi, seperti rasa takut atau kemarahan. 

Platform seperti Facebook dan Twitter menggunakan machine learning (salah satu kecerdasan buatan (AI) yang memungkinkan sistem untuk membuat prediksi tanpa diprogram secara eksplisit) untuk menampilkan konten yang paling mungkin diklik atau dibagikan, tanpa mempertimbangkan akurasi informasinya (Tandoc et al., 2018).

Akibatnya, hoaks dan teori konspirasi sering kali mendapatkan jangkauan lebih besar daripada berita yang diverifikasi. 

Baca Juga: Pesantren Itu Tak Boleh Ber-KASTA dan Harus dengan CINTA

3. Dampak Negatif pada Kesehatan Mental 

Penggunaan media sosial berbasis algoritma juga dikaitkan dengan masalah kesehatan mental, terutama di kalangan remaja.

Studi oleh Twenge et al. (2018) dalam Journal of Abnormal Psychology menemukan korelasi antara peningkatan waktu penggunaan media sosial dan gejala depresi serta kecemasan pada generasi Z. 

Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan engagement sering kali mempromosikan konten yang memicu perbandingan sosial negatif (Fardouly et al., 2015).

Misalnya, Instagram dan TikTok menggunakan algoritma yang menampilkan konten “sempurna” tentang kehidupan orang lain, yang dapat menimbulkan perasaan tidak cukup (inadequacy) dan penurunan harga diri. 

4. Ketergantungan Digital dan Perilaku Adiktif 

Desain algoritma media sosial yang memanfaatkan prinsip psikologi perilaku (seperti pemberian notifikasi dan infinite scroll) dapat menyebabkan ketergantungan digital.

Penelitian oleh Montag et al. (2019) dalam Addictive Behaviors menunjukkan bahwa fitur seperti like dan push notification mengaktifkan sistem dopamin di otak, mirip dengan mekanisme kecanduan. 

Platform seperti YouTube dan TikTok menggunakan algoritma autoplay dan rekomendasi otomatis untuk membuat pengguna tetap berada di aplikasi lebih lama.

Hal ini dapat mengganggu produktivitas dan kualitas tidur, terutama pada remaja (LeBourgeois et al., 2017). 

5. Solusi dan Rekomendasi

Untuk mengurangi dampak negatif algoritma, beberapa langkah dapat diambil: 

Transparansi algoritma: Platform media sosial harus lebih terbuka tentang cara kerja algoritma mereka (Diakopoulos, 2015). 

Literasi digital: Pengguna perlu diedukasi tentang cara mengenali misinformasi dan mengelola penggunaan media sosial (Wineburg & McGrew, 2019). 

Regulasi pemerintah: Pembuat kebijakan dapat menerapkan aturan yang memaksa platform untuk memprioritaskan konten berkualitas daripada sekadar engagement (Helberger et al., 2018). 

Pergeseran media sosial ke sistem berbasis algoritma telah membawa banyak dampak negatif, termasuk polarisasi, misinformasi, masalah kesehatan mental, dan ketergantungan digital.

Meskipun algoritma membantu personalisasi konten, desainnya yang berorientasi pada engagement justru sering merugikan pengguna.

Perlu adanya upaya bersama antara platform, pemerintah, dan pengguna untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan berimbang. ***

Sumber:

– Diakopoulos, N. (2015). Algorithmic Accountability. Digital Journalism, 3(3), 398-415. 

– Flaxman, S., Goel, S., & Rao, J. M. (2016). Filter Bubbles, Echo Chambers, and Online News Consumption. PNAS, 113(3), 554-559. 

– Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You. Penguin. 

– Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The Spread of True and False News Online. Science, 359(6380), 1146-1151. 

– Twenge, J. M., et al. (2018). Increases in Depressive Symptoms Among US Adolescents After 2012. Journal of Abnormal Psychology, 127(6), 674-689.