Gila Diam-diam

Di sebuah pesantren, seorang kiai pernah menegur santrinya yang gemar tidur setelah Ashar dan baru terbangun menjelang Maghrib. Dengan lembut namun tegas, sang kiai berkata, “Kalau kebiasaan ini diteruskan, bisa-bisa kamu jadi gila. Akalmu rusak.”
Tentu saja teguran itu bukan semata-mata peringatan medis, tapi juga isyarat batin. Tidur di waktu-waktu yang tidak baik sering kali dianggap membuka celah bagi kegelisahan batin dan kekosongan jiwa. Waktu Ashar adalah batas antara terang dan senja, antara kesadaran dan kelengahan. Ia bukan ruang untuk mematikan diri, tapi ruang untuk kembali hidup: menyusun ulang napas, menenun kembali semangat yang mulai renggang.
Tapi santri ini lain. Ia merasa tak perlu tunduk pada dawuh kiai. Setiap hari, setelah Ashar, ia kembali dlosor tidur. Waktu-waktu itu, yang seharusnya untuk menyambung cahaya, ia padamkan sendiri. Teman-temannya mengingatkan. Ia tak peduli. Ia merasa dirinya baik-baik saja.
Hingga suatu hari, tanpa ditanya siapa pun, ia mulai berkata pada siapa saja yang ia temui, “Katanya kalau tidur Ashar bisa gila, tapi aku kok tidak ya?” Diulang-ulang kalimat itu. Di setiap kesempatan, kepada siapa pun.
Dan dari situlah semuanya menjadi terang.
Ia tidak sadar bahwa justru dengan ucapannya itu, ia sedang menunjukkan apa yang dulu telah diperingatkan. Gila tidak selalu datang dalam bentuk orang menari-nari di tengah jalan atau tertawa tanpa sebab. Kadang ia menyusup lewat pola pikir yang mulai retak, lewat logika yang berputar-putar dalam kalimat yang sama, lewat penolakan halus terhadap nasihat dan kebenaran.
Ia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak gila. Tapi dunia tahu, hanya orang yang waras yang tidak perlu membuktikan kewarasannya.
Kiai tidak sedang melaknat. Ia hanya membaca arah. Dan kadang, yang membuat seseorang jatuh bukanlah satu kesalahan besar, tapi kebiasaan kecil yang diulang terus-menerus meski sudah diperingatkan.
Ada orang yang rusak akalnya bukan karena kegilaan besar, tapi karena keras kepala yang kecil. Karena menganggap dirinya lebih tahu dari kiai. Karena merasa aman dari akibat, padahal pelan-pelan sudah tersesat.
Dan kita tahu, orang yang paling sulit disembuhkan adalah yang tak merasa dirinya sedang sakit.
Tags:
Khazanah IslamKomentar Pengguna
Recent Berita

Kemenag Kukuhkan 267 Amil Zakat Kompeten 2025...
05 Agt 2025
Pengajuan Tunjangan Insentif GBPNS Guru Madra...
04 Agt 2025
Ingin Belajar Kerukunan dari Indonesia, Utusa...
04 Agt 2025
Dibuka sampai Besok! Lebih dari 150 Ribu Pese...
04 Agt 2025
Gelar Rakernas Evaluasi Haji 1446 H, Kemenag...
03 Agt 2025
Kemenag Sepakat Perkuat Audit Syariah terhada...
03 Agt 2025
BSU Guru 2025 Sudah Cair? Ini Cara Cek dan Sy...
03 Agt 2025
Kemenag jadi Kementerian Paling Aktif dalam P...
03 Agt 2025
Dirjen Pendis Sebut Sinkronisasi dan Orkestra...
03 Agt 2025
Realisasi Investasi di Indonesia Mencapai Rp...
02 Agt 2025
Peran Ayah dalam Tumbuh Kembang Anak
02 Agt 2025
Solusi Sehat untuk Menurunkan Asam Urat dan K...
02 Agt 2025
Sangat Mengkhawatirkan, Jumlah Besar Plastik...
02 Agt 2025
Seperti yang Ditunjukkan oleh Survei World Gi...
02 Agt 2025
5 Beasiswa S1-S3 Tersedia untuk Tujuan Dalam...
02 Agt 2025
Tidak Perlu Mahal! Ini Delapan Cara Mudah unt...
02 Agt 2025
7 Cara Introvert untuk Mengatasi Stres dan Me...
02 Agt 2025
Strategi E-Commerce untuk Mengatasi Daya Beli...
02 Agt 2025
Setelah Pengumuman Akui Negara Palestina, Tru...
02 Agt 2025