Benarkah Makanan di Zaman Majapahit sangat Ekstrem? 

banyak masyarakat modern menganggap makanan dari era Majapahit (1293–1527 M) sebagai hidangan "ekstrem", seperti daging ular, tikus, atau serangga. Namun, penelitian terbaru mengungkap bahwa anggapan ini mungkin hanya mencerminkan makanan di wilayah pinggiran kerajaan, bukan pusat peradabannya.

Keboncinta.com– Selama ini, banyak masyarakat modern menganggap makanan dari era Majapahit (1293–1527 M) sebagai hidangan “ekstrem”, seperti daging ular, tikus, atau serangga.

Namun, penelitian terbaru mengungkap bahwa anggapan ini mungkin hanya mencerminkan makanan di wilayah pinggiran kerajaan, bukan pusat peradabannya.

Lantas, bagaimana sebenarnya budaya kuliner di jantung Majapahit? Yuk kita simak penjelasan berikut ini.

Baca Juga: Pergeseran Media Sosial ke Algoritma: Dampak Negatif pada Pengguna dan Masyarakat

Makanan Pinggiran vs. Pusat Kerajaan 

Menurut Dr. Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Jurnal Arkeologi Indonesia (2018), makanan di wilayah terluar Majapahit sering kali berbasis sumber daya lokal, seperti hewan buruan atau tumbuhan liar.

“Masyarakat pedesaan dan perbatasan mengonsumsi apa yang tersedia, termasuk kodok, tikus, atau larva kumbang, terutama saat musim paceklik,” jelasnya.  

Namun, di pusat kota seperti Trowulan, bukti arkeologis menunjukkan pola makan yang lebih beragam dan mewah.

Baca Juga: Pesantren Itu Tak Boleh Ber-KASTA dan Harus dengan CINTA

Analisis residu pada tembikar dari situs Trowulan oleh tim peneliti Universitas Indonesia (2020) menemukan jejak daging sapi, kerbau, babi hutan, serta rempah-rempah seperti lada dan cengkeh. 

Hidangan Istana: Kemewahan yang Terlupakan 

Naskah Nāgarakṛtāgama (1365 M) menggambarkan pesta kerajaan dengan hidangan seperti: 

– Daging kerbau bakar bercampur rempah. 

– Ikan laut asin dari pesisir Utara Jawa. 

– Olahan susu (mungkin berupa dadih atau keju). 

“Majapahit mengimpor rempah dan bahan pangan melalui jaringan perdagangan Asia Tenggara. Mereka bukan pemakan ‘serangga’ seperti yang dibayangkan banyak orang,” ungkap Prof. Agus Aris Munandar, ahli sejarah kuno UI, dalam Jurnal Sejarah dan Budaya (2021). 

Baca Juga: Pesantren Kok Namanya Kebon Cinta? Ini Cerita di Balik Nama yang Bikin Heran

Mengapa Makanan Pinggiran Lebih Terkenal? 

1. Catatan Asing yang Bias: Pedagang Tiongkok seperti Ma Huan (Yingya Shenglan, 1433) lebih sering mengunjungi pelabuhan kecil, di mana makanan “eksotis” lebih mudah ditemui. 

2. Folklor dan Stereotip: Cerita lisan cenderung mengabadikan hal-hal unik, seperti ritual makan ular suku Tengger, yang sebenarnya bukan representasi pusat kerajaan. 

Makanan Majapahit jauh lebih kompleks daripada sekadar hidangan ekstrem. Meski beberapa komunitas di pinggiran kerajaan mengonsumsi bahan pangan non-tradisional, pusat pemerintahannya justru menikmati kuliner yang sophisticated dan dipengaruhi perdagangan global. ***

Sumber: 

1. Nastiti, T. S. (2018). Pola Konsumsi Masyarakat Majapahit. Jurnal Arkeologi Indonesia. 

2. Munandar, A. A. (2021). Kuliner dan Status Sosial di Majapahit. Jurnal Sejarah dan Budaya.  3. Tim Peneliti UI. (2020). Analisis Residu Tembikar Situs Trowulan. Prosiding Arkeologi Nasional.