Cirebon, Sumber Peradaban Islam Jawa Barat

keboncinta.com-Bila melihat konteks zaman now, khususnya di Pulau Jawa bagian barat, dari deretan nama-nama kota yang ada di dalamnya, mungkin kita lebih familiar menyebut kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, Tanggerang sebagai kota besar yang memiliki pengaruh dan dikenal secara nasional.

Ya, dan memang faktanya seperti itu. Entah melalui media ataupun memang daya tarik dan pengaruhnya sudah dikenal banyak orang shingga kota-kota itu lebih familiar  daripada kota lainya yang berada di sisi-sisinya.

Akan tetapi, beberapa warisan dan bukti fisik tertentu tidak menutupi fakta dimasa lalu, bahwa sebelum kota-kota itu, di wilayah itu juga, ada kota yang cukup memberi pengaruh bukan hanya di Jawa bagian barat, juga Jawa bagian lainnya.

Baca juga: Ulama dan Santri: Pejuang Nusantara

Kota itu cukup central keberadaanya. Dimasanya, berabad-abad lamanya, baik bagi pertumbuhan ekonomi, budaya, peradaban, terutama bagi penyebaran agama Islam. Kota itu bernama Cirebon.

Kota ini, yang dimasanya mendapat predikat Garage atau Nagari Gede, muncul sebagai mata air bagi sumber peradaban di wilayah disekitarnya;

Darinya, muncul beberapa tokoh yang arif dan peduli akan kondisi sosial, pendidikan dan agama. Syarif Hidayatullah, Sang Pandita Ratu, Raja sekaligus ulama. Pangeran Cakra Buana, sang pendiri peradaban, yang meskipun bangsawan kelas atas mau merintis pedesaan bersama rakyat jelata.

Dari kota itu, Islam tersebar ke pelosok pedalaman Jawa Barat, meregenerasi ulama yang arif sebagai mata air ilmu yang membentuk peradaban Islam: Pangeran Arif Muhammad di Garut, Pangeran Mahadikusumah di Ciamis, Pangeran Santri di Sumedang dan kader-kader ulama lainya hinga terus bertunas dimasa kini dan membentuk wadah-wadah pendidikan yang bernama pesantren.

Baca juga: Asal Usul Klenteng Talang Kota Cirebon:  Awalnya Berupa Masjid Kemudian Menjadi Klenteng

Dari sumber itu, Kesultanan Banten muncul sebagai basis multifungsi; politis, ekonomi, religius bagi masyarakat disekitarnya. Sultan Hasanudin, Sultan Ageng Tirtayasa adalah kepanjangan tangan sekaligus penerus visi  yang dicita-citakan sang Sultan Cirebon, yang darinya peradaban merembes hingga kepelosok ujung barat hingga menyeberangi bagian bawah pulau Sumatra.

Dari sumber itu juga, di tahun 1527, melalui Fatahillah, menantu sang Sultan Cirebon, Sunda Kelapa memperoleh momentum bersejarah, yang sampai saat ini masih dikenang dalam nama Jakarta.

Begitu harum nama Cirebon kala itu, kota religius yang darinya peradaban menghias Jawa Barat. Dan bukti-bukti itupun masih ada, bukti-bukti itu masih kokoh berdiri, selama 600 tahun bertahan, menghadap ke kutub dunia, tertutupi hiruk pikuk “anak cucunya” yang hilir mudik, semrawut, sembari cuek tanpa menolehnya yang telah berjasa bagi pemenuhan eksistensi dan identitas kebudayaannya yang tersemat dalam predikat Wong Cerbon.***