Beberapa waktu lalu, publik diramaikan oleh wacana pengusulan nama-nama pahlawan nasional baru. Dari sepuluh tokoh yang diusulkan, sebagian di antaranya berasal dari kalangan ulama. Fenomena ini bukanlah hal baru, sebab dalam pengukuhan pahlawan nasional dari tahun-tahun sebelumnya, nama-nama ulama selalu hadir sebagai bagian dari deretan tokoh penting dalam perjuangan bangsa.
Hal ini sejatinya menjadi pengingat yang kuat bagi bangsa Indonesia, terutama bagi umat Islam dan para santri, bahwa kiprah para ulama sejak dulu hingga kini sangatlah sentral. Mereka bukan sekadar pengajar ilmu agama, tetapi juga pemimpin, penggerak, dan pejuang kemerdekaan.
Sayangnya, peran besar ini tidak selalu mendapat ruang yang proporsional dalam buku-buku sejarah yang beredar di sekolah-sekolah formal. Bahkan di lingkungan pesantren sendiri, tradisi membedah sejarah perjuangan ulama Indonesia masih terbilang minim.
Banyak pesantren lebih menitikberatkan kajian pada sirah Nabawiyyah atau sejarah peradaban Islam secara umum daripada sejarah lokal ulama Nusantara. Padahal, narasi perjuangan ulama Indonesia sangat penting ditanamkan kepada para santri, guna membentuk pola pikir patriotik dan rasa percaya diri dalam berkiprah di kancah nasional.
Peran ulama dalam sejarah Indonesia seringkali terpinggirkan dalam narasi-narasi besar sejarah yang lebih banyak menyoroti figur nasionalis sekuler. Beruntung, sejumlah sejarawan dan penulis telah berusaha mengangkat kembali peran strategis ulama dalam sejarah bangsa.
Sebut saja nama-nama seperti Prof. Azyumardi Azra, R.K.H. Abdullah bin Nuh, Buya Hamka, hingga Ahmad Mansur Suryanegara. Khususnya Ahmad Mansur, dalam karya monumentalnya Api Sejarah Jilid I dan II, ia secara gamblang menempatkan ulama dan santri sebagai aktor utama dalam pentas sejarah perjuangan bangsa.
Baca juga: Asal Usul Klenteng Talang Kota Cirebon: Awalnya Berupa Masjid Kemudian Menjadi Klenteng
Buku tersebut tidak hanya menelusuri peran ulama pada era kesultanan Islam dalam membendung penjajahan Barat, tetapi juga pada masa-masa krusial menuju kemerdekaan, seperti peran sentral Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam mengeluarkan Resolusi Jihad yang memicu pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Keterlibatan ulama dalam melawan penjajahan bukanlah epilog sejarah yang kecil. Mereka berada di garis depan, baik dalam medan tempur, diplomasi, maupun penguatan mental dan spiritual rakyat. Dari Teuku Cik Ditiro, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Syekh Yusuf al-Makassari, hingga Pangeran Diponegoro, semua menunjukkan bahwa ulama adalah simbol keberanian dan pemersatu rakyat.
Oleh karena itu, ketika wacana penulisan ulang sejarah Indonesia tengah bergulir, dengan niat menghadirkan narasi yang lebih holistik dan inklusif, besar harapan agar nama-nama ulama tidak lagi terpinggirkan, tetapi mendapat tempat yang semestinya.
baca juga: Indonesia Tidak Dijajah Belanda Selama 350 Tahun
Dokumentasi sejarah yang mengangkat kontribusi para ulama akan menjadi sumber ibrah (pelajaran) dan motivasi besar bagi generasi berikutnya, khususnya kalangan santri. Ini akan membantu menumbuhkan rasa bangga dan tanggung jawab sebagai penerus perjuangan para pendahulu.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh tokoh pergerakan nasional, E.F.E. Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudi:
“Jika tidak karena sikap dan semangat perjuangan para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan.”
Ungkapan tersebut adalah testimoni sejarah tentang betapa besar peran ulama dalam menjaga bara semangat kebangsaan. Kini, giliran kita semua, baik pendidik, santri, maupun masyarakat umum, untuk merawat dan menyalakan kembali semangat tersebut, agar tak padam dimakan zaman.***