Keboncinta.com-- Sebelum puisi disebut puisi, ia hidup sebagai mantra. Dalam masyarakat Nusantara kuno, kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan kekuatan spiritual. Kata dipercaya mampu mengubah kenyataan. Mantra bukan sastra, tapi peristiwa. Ia dibacakan bukan untuk dinikmati, tetapi untuk dipercaya.
Namun zaman berubah. Rasionalitas datang, dan bersama itu muncul kebutuhan baru: menafsir dunia, bukan memantrainya.
Puisi Sebagai Kesadaran Baru
Sastrawan perintis seperti Muhammad Yamin dan Sanusi Pane di awal abad ke-20 membawa perubahan: bahasa tidak lagi sekadar alat penyampai pesan, melainkan wadah ekspresi batin. Puisi menjadi laboratorium berpikir bangsa yang baru lahir.
Jika mantra adalah bentuk kolektif dari kepercayaan, maka puisi modern adalah bentuk personal dari kesadaran. Ia lahir dari pergulatan diri, bukan dari ritual sosial.
Chairil Anwar: Dari Doa Menjadi Diksi
Lompatan paling radikal terjadi ketika Chairil Anwar muncul. Ia memutus tali antara puisi dan sakralitas lama. Dalam puisinya, kata tidak lagi berfungsi sebagai jimat, melainkan senjata. Ia tidak lagi berdoa kepada alam, tapi menantang hidup.
“Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.”
Baris ini bukan sekadar pernyataan eksistensial; ia adalah revolusi bahasa. Chairil memerdekakan kata dari beban mistik dan menjadikannya alat berpikir. Ia membawa puisi Indonesia dari alam gaib ke alam ide. Dari suara roh menjadi suara nalar.
Dalam diri Chairil, bahasa menjadi alat perlawanan terhadap kematian, kekuasaan, dan kejumudan. Inilah saat ketika puisi Indonesia menjadi modern: ketika ia mulai berpikir tentang dirinya sendiri.
Puisi Sebagai Kritik
Puisi modern Indonesia kemudian berkembang menjadi ruang kritik sosial dan politik. Dari W.S. Rendra yang menggugat kekuasaan, hingga Sutardji Calzoum Bachri yang membebaskan kata dari makna, semuanya berakar dari semangat yang sama: melawan penyeragaman berpikir.
Puisi tidak lagi sekadar bentuk keindahan, tetapi bentuk perlawanan. Ia menjadi wilayah di mana bahasa diuji, makna dipertaruhkan, dan kebebasan dijaga.
Contributor: Tegar Bagus Pribadi