Sejarah
Vini Dwi Jayati

Jejak Penyair Perempuan dalam Sejarah Indonesia

Jejak Penyair Perempuan dalam Sejarah Indonesia

30 Oktober 2025 | 00:20

Keboncinta.com--   Sebelum kata feminisme masuk ke kamus akademik, R.A. Kartini sudah menulis surat-surat yang melampaui zamannya. Ia bukan penyair secara teknis, tapi puisinya ada dalam pikirannya. Kalimat-kalimatnya—tentang kebebasan perempuan, pendidikan, dan penderitaan batin—adalah sajak tanpa rima, tetapi penuh nyala nalar.

Kartini mengajarkan sesuatu yang kelak menjadi fondasi penyair perempuan Indonesia: bahwa menulis adalah bentuk perlawanan paling halus, namun paling berbahaya. Dalam kolonialisme, perempuan dijinakkan oleh adat dan agama. Dalam tulisannya, Kartini membalikkan jinak itu menjadi daya hidup.

1950-an: Perempuan yang Diam

Pada dekade 1950-an, puisi Indonesia didominasi oleh suara laki-laki. Subagio Sastrowardoyo berbicara tentang eksistensi, Sitor Situmorang tentang cinta dan kota, Chairil tentang kematian dan pemberontakan. Tapi di antara gema itu, ada suara lembut yang sering diabaikan: Toeti Heraty—filsuf sekaligus penyair yang membaca dunia dari sisi sunyi perempuan.

Dalam puisinya, perempuan bukan objek cinta, tapi subjek kesadaran. Ia menulis tentang tubuh, sejarah, dan kekuasaan dengan ketajaman intelektual yang jarang. Puisinya bukan sentimentalitas, tapi analisis yang berirama. Ia membongkar mitos patriarki tanpa marah, tapi dengan pikiran yang tajam.

“Wanita itu tubuh yang dibungkam, tapi matanya menyimpan kitab yang tak terbaca.”

Itu bukan sekadar puisi, tapi gugatan terhadap sejarah yang terlalu lama menulis perempuan sebagai catatan kaki.

1970–1990-an: Ketika Perempuan Menulis Tubuhnya Sendiri

Dekade ini adalah masa ketika penyair perempuan mulai menulis dengan kesadaran baru—kesadaran tubuh dan bahasa. Dorothea Rosa Herliany, Ayu Utami, dan Laksmi Pamuntjak menghadirkan tubuh perempuan bukan sebagai citra erotik, tapi sebagai medan politik.

Puisi mereka memecah tabu, merayakan pengalaman biologis dan spiritual perempuan dengan keberanian yang kadang membuat pembaca laki-laki gelisah. Karena yang digugat bukan hanya patriarki sosial, tapi juga cara berpikir kita tentang bahasa.

Reformasi dan Era Digital: Suara yang Tidak Lagi Menunggu

Era reformasi membuka kran kebebasan, tapi juga menghadirkan kebisingan. Oka Rusmini, misalnya, menulis tentang perempuan Bali yang terpenjara adat. Puisinya menguliti paradoks budaya: antara penghormatan dan penindasan, antara sakralitas dan kekuasaan. Ia menulis bukan dari kemarahan, tapi dari kesadaran yang matang.

Dari Pinggir Menjadi Pusat

Sejarah sastra Indonesia sering ditulis dari sudut pandang laki-laki, seolah perempuan hanya hadir untuk menginspirasi, bukan berpikir. Tapi sejarah yang jujur harus menulis ulang dirinya sendiri.

Contributor: Tegar Bagus Pribadi

Tags:
Sejarah Puisi Sejarah Indonesia Penyair

Komentar Pengguna