Sejarah
Vini Dwi Jayati

Taufiq Ismail dan Zaman yang Ia Tangisi Lewat Sajak

Taufiq Ismail dan Zaman yang Ia Tangisi Lewat Sajak

30 Oktober 2025 | 16:28

Keboncinta.com--   Dalam sejarah sastra Indonesia, Taufiq Ismail berdiri sebagai saksi yang setia—penyair yang tidak hanya menulis kata, tapi mencatat nurani bangsanya. Ia bukan penyair yang bersembunyi di balik metafora rumit, melainkan suara moral yang menatap zaman dengan mata terbuka dan hati terluka.

Taufiq lahir dari generasi yang menyaksikan bangsa ini berulang kali kehilangan akal sehat. Dari revolusi, tragedi 1965, hingga euforia Orde Baru, ia menulis bukan untuk menjadi indah, tapi untuk menjadi jujur. Puisinya adalah cermin getir yang menolak berdusta.

Dari “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” ke “Tirani dan Benteng”

Dalam sajak “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”, Taufiq menulis dengan nada getir tapi cinta yang dalam. Ia tidak membenci bangsanya; ia kecewa karena terlalu mencintai. Ia melihat korupsi, ketidakadilan, dan kemunafikan sebagai luka moral bangsa yang belum sembuh. Puisinya bukan nostalgia, melainkan teguran keras.

Di “Tirani dan Benteng”, ia memperingatkan bahwa kekuasaan tanpa nurani akan berubah menjadi penjara. Ia menulis dengan bahasa sederhana, tapi dengan keberanian moral yang tajam. Di tengah penyair yang sibuk bereksperimen bentuk, Taufiq memilih fungsi: puisi harus bicara pada rakyat, bukan sekadar pada penyair lain.

Penyair yang Tidak Netral

Taufiq tidak percaya pada posisi “netral.” Baginya, penyair harus berpihak—pada kebenaran, pada kejujuran, pada akal sehat. Ia menulis di majalah Horison, mendidik generasi muda lewat “Puisi, Sajak, dan Lagu,” sambil terus menegaskan bahwa sastra adalah bagian dari tanggung jawab sosial.

Ia menangisi zamannya, tapi tidak menyerah padanya. Kesedihannya bukan tanda putus asa, melainkan kesadaran: bahwa bangsa ini masih bisa diperbaiki, selama ada yang berani menulis tanpa takut.

Sajak Sebagai Doa Moral

Puisi Taufiq Ismail bukan sekadar karya sastra; ia adalah doa dalam bentuk kritik. Ia mengingatkan bahwa bangsa ini tidak akan hancur oleh kemiskinan, tetapi oleh hilangnya rasa malu.

Contributor: Tegar Bagus Pribadi

Tags:
Sejarah Puisi Sastra Sejarah Indonesia Sastrawan Karya Sastra

Komentar Pengguna