Filsafat Pendidikan: Kenapa Manusia Harus Belajar dan Diajari?

Di tengah rutinitas sekolah, pekerjaan guru, dan kewajiban siswa, sering kali kita lupa bertanya: mengapa sebenarnya manusia harus belajar dan diajari? Pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan kedalaman filosofis tentang hakikat manusia dan makna pendidikan itu sendiri.

Di Indonesia, banyak orang memandang sekolah sebagai sesuatu yang harus dilakukan karena alasan eksternal. Misalnya, karena pemerintah mewajibkan melalui Undang-Undang, karena ingin mendapat ijazah, karena ingin kerja, atau sekadar karena orang tua menyuruh agar “tidak malu” di hadapan tetangga.

Sementara itu, tak sedikit guru yang mengajar karena menganggapnya sekadar profesi atau ladang nafkah. Maka, kegiatan belajar-mengajar kerap terjebak menjadi rutinitas administratif yang kehilangan jiwa dan esensi dasarnya.

Baca juga: Keraton Pakungwati, Cikal Bakal Keraton-Keraton di Cirebon

Padahal, belajar bukan sekadar kewajiban legal atau formal, melainkan bagian paling mendasar dari hakikat manusia itu sendiri. Mengajar pun bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi menyentuh inti dari misi kemanusiaan: memanusiakan manusia dan menjadikannya manusia seutuhnya.

Belajar: Aktivitas Dasar Manusia

Sejak bayi dilahirkan, manusia telah belajar. Bahkan sebelum bisa bicara, ia belajar mengenali suara, rasa, wajah, dan gerak. Ini menandakan bahwa belajar adalah aktivitas biologis sekaligus eksistensial, bukan produk budaya semata. Manusia diberi akal dan hati, dua potensi dasar yang menjadikannya makhluk pembelajar. Ia bertanya, merenung, mencari makna, dan menguji dunia sekitarnya.

Dalam karya filsuf Islam Ibn Thufail, Hayy bin Yaqzan, digambarkan tokoh manusia yang tumbuh tanpa manusia lain di sebuah pulau. Namun berbekal fitrah dan pengamatannya terhadap alam, ia mampu memahami realitas dan bahkan menyadari adanya Tuhan. Ini menunjukkan bahwa belajar bersumber dari dalam diri manusia, bukan sekadar dari tekanan sosial.

Namun tetap saja, belajar secara utuh tak bisa dilakukan sendirian. Manusia butuh manusia lain untuk membimbing, mengarahkan, membuka cakrawala berpikir, dan mendampingi proses bertumbuhnya kesadaran.

Mengajar: Memanusiakan manusia dan Membangun Peradaban

Mengajar bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah tindakan yang membentuk masa depan umat manusia. Seorang guru bukan hanya penyampai materi, tapi pelaku sejarah.

Ia merawat potensi manusia lain, membantu mereka menemukan dirinya, dan menyemai nilai-nilai kebajikan yang akan menjadi bekal hidup berabad-abad ke depan.

Baca juga: Pembagian Wilayah Jajahan Melalui Perjanjian Tordesilas: Serasa Dunia Milik Berdua

Itulah kenapa Aristoteles menegaskan: Bahwa “pendidikan itu ibarat seperti menyalakan api, bukan mengisi bejana”. Pendidikan harus mampu membangkitkan potensi dasar dari manusia itu sendiri, pendidikan harus mampu menyadarkan manusia bahwa ia harus dan butuh untuk belajar, sehingga ia membentuk dan mendefinisikan dirinya sendiri.

Pendidikan bukan hanya menjejali manusia dengan pelajaran, namun tanpa menyentuh tanpa menyentuhkesadaran terdalam dalam dirinya, yaitukesadaran akan siapa dirinya, apa tujuannya, dan bagaimana ia seharusnya hidup sebagai manusia yang utuh.

Oleh karenanya mengajarvsejatinya adalah proses membangunkan manusia dari keterlenaan, dari sekadar hidup secara biologis menjadi hidup secara sadar, bernalar, dan bermakna.

Baca juga: Tanpa Wisuda, Tanpa Study Tour: Ini Alasan Pesantren Kebon Cinta Tidak Suka Seremoni

Ketika manusia hanya dijejali informasi, ia bisa menjadi pintar, tapi belum tentu bijak. Namun ketika ia disentuh kesadarannya, dibimbing hatinya, dan ditumbuhkan jiwanya, maka ia akan menjadi manusia yang merdeka dan utuh.

Itulah sebabnyafungsi guru dan pendidik tidak bisa hanya berhenti sebagai penyampai materi. Guru adalah pembimbing jiwa. Dalam bahasa Paulo Freire, pendidikan haruslah menjadi praktik pembebasan, bukan penindasan.

Guru bukan hanya memberikan jawaban, tetapi membangkitkan pertanyaan dalam diri murid; bukan hanya menunjukkan jalan, tetapi menyalakan semangat untuk mencari arah.

Baca juga: Pesantren Kok Namanya Kebon Cinta? Ini Cerita di Balik Nama yang Bikin Heran

Lebih dari itu, mengajar adalah aktivitas yang bersifat profetik. Sejarah para nabi selalu berkaitan dengan tugas mendidik, membimbing, dan menyampaikan hikmah.

Maka dalam makna yang paling dalam, mengajar adalah mengambil bagian dari warisan kenabian, yakni membangun peradaban manusia dengan ilmu, kebijaksanaan, dan kasih sayang.

Mengapa Belajar dan Mengajar Tak Bisa Ditinggalkan?

Karena keduanya bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan ontologis manusia. Belajar adalah jalan menuju penyempurnaan diri, menuju aktualisasi potensi yang tertanam dalam jiwa. Mengajar adalah kewajiban moral dan sosial untuk membantu sesama mencapai hal yang sama. Tanpa belajar, manusia tidak mengenal dirinya. Tanpa mengajar, manusia kehilangan makna keberadaannya dalam kehidupan sosial.

Yang lebih mengejutkan, mungkin kita belum menyadari bahwa belajar dan mengajar adalah bentuk cinta yang paling murni. Cinta kepada pengetahuan, cinta kepada sesama, dan cinta kepada kemanusiaan itu sendiri. Di balik buku, kelas, atau papan tulis, ada gerak batin yang tak terlihat: cinta untuk tumbuh bersama sebagai manusia.***