Psikologi Bukan Ilmu tentang Jiwa, tapi ‘Kejiwaan’

Keboncinta.com- Banyak orang masih mengira bahwa psikologi adalah ilmu yang membahas soal jiwa. Anggapan ini cukup wajar, karena istilah “psikologi” sendiri berasal dari kata Yunani psyche yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu, maka secara bahasa psikologi ialah ‘ilmu tentang jiwa’.
Tapi pada praktiknya, psikologi modern tidak benar-benar membahas jiwa secara langsung, apalagi mencoba membuktikan keberadaannya. Kenapa? Karena jiwa tidak bisa dilihat, diraba, diukur, atau diterawang. Ia tak kasatmata. Sementara ilmu psikologi termasuk rumpun sains yang mensyaratkan objek kajian harus bisa diamati secara empiris atau terindera.
Maka, psikologi tidak meneliti jiwa sebagai entitas atau jiwa sebagai hakikatnya, akan tetapi psikologi mempelajari ‘gejala-gejala kejiwaan’ yang bisa terlihat melalui perilaku atau tampilan fisik seseorang. Misalnya, seseorang yang bahagia bisa dilihat dari ekspresi senyumnya, mata yang berbinar, atau sikap tubuh yang rileks. Orang sedih bisa dikenali dari wajah yang muram, gerak tubuh yang lesu, atau bahkan tangisan. Dari sinilah psikologi bekerja: membaca gejala luar yang tampak, lalu menarik pemahaman tentang kondisi kejiwaan di baliknya.
Dengan kata lain, psikologi hanya menyentuh “permukaan” dari jiwa, yakni perilaku dan ekspresinya. Ia tidak menjangkau hakikat terdalam dari jiwa itu sendiri. Maka, jika ada pertanyaan seperti: apa sebenarnya jiwa itu? Apakah ia satu dengan tubuh, atau terpisah? Apakah jiwa bersifat kekal atau fana? Maka pertanyaan seperti ini bukan lagi ranah psikologi, melainkan ranah filsafat.
Filsafat berani masuk ke wilayah yang lebih dalam dan abstrak. Ia membahas hakikat keberadaan, termasuk jiwa, hanya dengan landasan akal, logika, dan penalaran sistematis. Tidak perlu harus bisa diukur atau dilihat. Yang penting, masuk akal dan runtut. Maka dari itu, ketika membahas soal eksistensi jiwa, potensi spiritual manusia, dan hubungan antara jiwa dan tubuh, filsafat jiwa menjadi cabang ilmu yang relevan.
Namun jika seseorang tidak hanya ingin memahami jiwa secara rasional, tetapi juga ingin mengalami dan merasakan kehadirannya secara batiniah, maka wilayahnya sudah masuk ke dalam tasawuf. Tasawuf bukan sekadar ilmu pengetahuan, tapi juga jalan penghayatan. Di sini, jiwa tidak hanya ditelaah, tapi juga dimurnikan, ditempa, dan diarahkan untuk kembali menyatu dengan Sang Sumber, yaitu Tuhan.
Tags:
pendidikanKomentar Pengguna
Recent Berita

SIAPA AKU INI
11 Jul 2025
Alhamdulillah! Tunjangan Guru PAI Non-ASN Nai...
10 Jul 2025
Direktorat Pesantren Kemenag: Penyaluran BOS...
10 Jul 2025
Sempat Singgung Wacana Haji Lewat Jalur Laut,...
10 Jul 2025
Sebanyak 330 Mahasiswa Perguruan Tinggi Islam...
10 Jul 2025
Lebih Baik Sedikit Amal dengan Kesadaran Ilah...
10 Jul 2025
Madrasah harus Mampu Kenali Hambatan Belajar...
10 Jul 2025
Aroma Surga dari Sang Buah Hati: Sebuah Anuge...
10 Jul 2025
Menggapai Kejujuran, Keikhlasan, Rezeki, dan...
10 Jul 2025
Beri Akses Pendidikan untuk Semua, Kemenag Da...
10 Jul 2025
Dosa Sulit Diampuni: Memaafkan Kesalahan Sesa...
10 Jul 2025
Cobaan: Ujian dan Kasih Sayang Allah
10 Jul 2025
Pentingnya Menjaga Kesucian Perempuan dalam B...
10 Jul 2025
Menteri Agama Ungkap Indonesia Bisa Menjadi P...
10 Jul 2025
Jangan Sampai Doa Marahmu Merusak Masa Depan...
10 Jul 2025
Mengapa Ada Kaya, Ada Miskin?
10 Jul 2025
Ketika Harta Datang dan Pergi: Sebuah Renunga...
10 Jul 2025
Begini Aturan Baru Pemberian Tunjangan Profes...
10 Jul 2025
Cara menonaktifkan fitur Quick Access pada Wi...
10 Jul 2025