Antara Menulis dan Menggurui
Saya bukan ustadz. Bukan pula guru. Hanya seseorang yang sesekali menuliskan apa yang terlintas. Tapi anehnya, kadang-kadang tulisan itu terdengar seperti nasihat. Seperti ceramah. Seperti khutbah yang tak diminta.
Padahal saya tidak sedang berdiri di mimbar. Tidak memegang kitab kuning. Tidak mengutip dalil dengan intonasi sakral. Saya hanya duduk, mungkin sambil menyeruput teh tawar hitam yang mulai dingin, lalu menuliskan apa yang terasa.
Tapi begitulah kata-kata. Ia kadang lebih tegas dari yang kita maksud. Ia kadang membawa pesan lebih besar dari niat kita yang sederhana. Kata-kata, sebagaimana manusia, punya kehidupannya sendiri.
Saya tahu, ada yang membaca dengan senyum. Ada yang sekadar melirik. Ada pula yang merasa terusik. Barangkali karena tulisannya terlalu menusuk. Atau karena membangunkan sesuatu yang selama ini sengaja ditidurkan. Atau karena terlalu jelek.
Tapi saya tidak sedang menggurui. Saya bahkan tak sanggup menggurui diri sendiri. Hidup saya pun penuh kekeliruan, dan tulisan ini bukan tanda bahwa saya lebih tahu, tapi justru bukti bahwa saya sedang mencari tahu.
Orang Jawa punya istilah menggoroi—lebih nyaring daripada menggurui, kadang malah terasa merendahkan. Dan saya tidak ingin jadi itu.