Keboncinta.com-- Indonesia sebagai negara yang mempunyai banyak keberagaman di dalamnya, menjadikan isu perselisihan berabau agama menjadi hal yang sangat sensitif, dan memerlukan perhatian khusus dari berbagai pihak, terutama pemerintah.
Untuk mengatasi hal tersebut, Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Sekretariat Jenderal Kemenag terus mematangkan Early Warning System (EWS) atau Sistem Deteksi Dini Konflik Keagamaan.
Langkah ini dilakukan guna mencegah konflik sosial berdimensi keagamaan di tengah kehidupan masyarakat.
Kepala PKUB Setjen Kemenag, M Adib Abdushomad, mengungkapkan akan pentingnya pembangunan ekosistem EWS dalam mencegah konflik keagamaan.
Menurutnya, penguatan ekosistem EWS sesuai amanat Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 924 tahun 2023 tentang Tim Pencegahan Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan Tingkat Pusat dan KMA Nomor 332 Tahun 2023 tentang Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan.
“Kita ingin membangun ekosistem EWS. Sesuai arahan Bapak Sekjen, yang terpenting dari EWS ini adalah membangun ekosistemnya. Alhamdulillah, PKUB mencoba mengorkestrasi tugas ini secara sinergis dan kolaboratif lintas stakeholders,” terang M Adib dalam kegiatan bertajuk "Membangun Ekosistem Early Warning System Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan" di Serpong, Selasa (29/7/2025).
Adib juga mengapresiasi demonstrasi aplikasi EWS yang dipresentasikan para narasumber, termasuk akademisi Universitas Indonesia dan praktisi EWS. “Aplikasi ini menjadi salah satu bentuk konkret dari ikhtiar PKUB dalam menjaga keutuhan NKRI dari potensi konflik sosial berbasis keagamaan,” ungkapnya.
Selain melalui teknologi, PKUB juga melakukan strategi sosial dan budaya untuk memperkuat kerukunan, seperti pendekatan melalui ruang-ruang perjumpaan dan dialog antartokoh lintas agama.
“Kami terus mengundang para tokoh umat beragama untuk duduk bersama dalam forum-forum dialog. Juga memperluas partisipasi dalam kegiatan keagamaan, tidak hanya ritual, tapi kegiatan sosial keagamaannya,” jelas Adib.
Selanjutnya, Adib mencontohkan pentingnya komunikasi dalam mencegah salah paham yang dapat memicu konflik. Ia merujuk pada kasus terbaru di Depok, Jawa Barat, dan Padang, Sumatra Barat, terkait rumah doa yang disalahpahami sebagai rumah ibadah formal lantaran minimnya komunikasi antara pemilik dan masyarakat setempat.
“Padahal niat pendeta membangun rumah doa itu baik, yaitu untuk mendekatkan umatnya kepada ajaran agama. Tapi karena tidak ada informasi kepada RT/RW dan masyarakat, lalu terjadi kesalahpahaman,” tuturnya.
Kemudian, Adib juga menekankan bahwa kasus-kasus semacam itu harus dicegah dengan memperkuat komunikasi dan membangun saluran informasi yang terbuka, serta meminimalisir terjadinya miskomunikasi di kehidupan masyarakat.***