keboncinta.com --- Belakangan, sejumlah pengguna media sosial mengeluhkan tidak bisa mengunggah konten yang berkaitan dengan Indonesia, termasuk topik seputar unjuk rasa dan kritik terhadap pemerintah. Dugaan praktik shadow banning pun mencuat. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan shadow banning?
Beberapa warganet mengaku tidak bisa mengunggah konten dengan kata kunci tertentu. Salah satu pengguna Instagram, @yesidibelanda, mengungkapkan pengalamannya.
“Kita tidak bisa upload menyangkut mengenai negara kita. Jadi tidak bisa upload story yang ada bendera Indonesia, yang ada algoritma kata Indonesia,” katanya di Instagram.
Selain Instagram, TikTok juga menonaktifkan fitur TikTok Live sejak 30 Agustus 2025. Juru bicara TikTok menjelaskan langkah tersebut dilakukan untuk alasan keamanan.
“Karena kekerasan demonstrasi yang meningkat di Indonesia, kami telah secara sukarela menerapkan pengamanan (safeguard) tambahan untuk menjaga TikTok sebagai ruang sipil dan aman,” kata juru bicara TikTok kepada AFP, seperti dilansir The Economic Times, pada Sabtu, 30 Agustus 2025.
Fenomena ini memicu perdebatan dan dugaan adanya shadow banning, sebuah praktik pembatasan konten yang dilakukan tanpa pemberitahuan resmi kepada pengguna.
Secara harfiah, shadow banning adalah tindakan menyembunyikan konten atau akun pengguna tanpa pemberitahuan. Menurut laman Merriam-Webster, shadow banning berarti memblokir atau membatasi visibilitas akun secara diam-diam.
Sementara itu, Sciencedirect menjelaskan bahwa istilah ini awalnya digunakan di forum daring untuk menandai akun spam. Akun tersebut masih bisa memposting, tetapi kontennya tidak terlihat oleh orang lain. Kini, maknanya berkembang menjadi penurunan visibilitas konten, misalnya dengan menurunkan peringkat pencarian atau rekomendasi, sehingga lebih sulit ditemukan.
The Sydney Morning Herald menambahkan bahwa:
“Shadow banning bekerja dengan cara menyaring konten di media sosial untuk membatasi unggahan, akun, tagar, atau komunitas tertentu. Konten yang dibatasi biasanya tidak terlihat oleh orang lain atau hanya sedikit penonton yang melihatnya, tanpa ada pemberitahuan resmi dari platform.”
Perbedaan utama shadow banning dengan moderasi biasa adalah tidak adanya notifikasi atau alasan yang jelas. Akibatnya, pengguna biasanya baru menyadari saat interaksi kontennya tiba-tiba menurun drastis.
Secara umum, praktik ini digunakan untuk menyaring konten yang melanggar pedoman, seperti:
Dukungan terhadap kelompok teroris
Peniruan identitas
Konten kekerasan
Materi eksplisit atau terkait eksploitasi anak
Namun, sifatnya yang tersembunyi membuat fenomena ini kontroversial. Banyak kreator merasa dirugikan karena konten mereka sulit dijangkau audiens, padahal tidak selalu melanggar aturan.
Fenomena ini bukan hal baru. Pada 2023, TikTok ramai dikeluhkan karena konten pengguna tidak muncul di For You Page (FYP), sehingga jumlah tayangan, like, dan komentar turun drastis. TikTok menegaskan bahwa pelanggaran pedoman dapat memicu pembatasan.
“Kami akan melarang akun dan/atau pengguna yang terlibat dalam pelanggaran berat atau berulang-ulang di platform secara sementara atau permanen,” kata TikTok.
Beberapa figur publik juga pernah mengalami hal serupa:
Caitlyn Jenner, atlet Olimpiade dan peserta VIP Big Brother Australia, mengaku terkena shadow ban setelah bergabung sebagai kontributor Fox News.
“Jumlah langganan saya menurun drastis, dan saya benar-benar terkejut,” ungkapnya, dikutip dari The Sydney Morning Herald.
Komedian Ari Shaffir menceritakan pengalamannya saat akun Instagram-nya sulit ditemukan pada 2019, meskipun Instagram menyangkal keberadaan shadow banning.
Selama 2019–2020, Instagram juga diduga menerapkan shadow banning untuk menyembunyikan konten yang dianggap tidak pantas dihapus. Dampaknya besar bagi pekerja lepas, artis, aktivis, dan pekerja seks komersial, karena mereka kesulitan menjangkau audiens baru.
Sebelum adanya teknologi kecerdasan buatan (AI) dan algoritma canggih, moderasi konten hanya mengandalkan laporan pengguna. Namun kini, sistem otomatis bisa langsung menekan konten yang dianggap melanggar, bahkan sebelum ada laporan.
Peneliti senior Universitas Cambridge, Jennifer Cobbe, menjelaskan:
“Dengan meningkatnya tanggung jawab platform sebagai perantara antara pengguna dan konten, mereka semakin banyak menggunakan sistem otomatis untuk menekan konten yang dianggap tidak diinginkan.”
Meski begitu, perdebatan tentang apakah shadow banning benar-benar ada masih terus terjadi. CEO Instagram menekankan pentingnya transparansi terkait alasan penghapusan konten dan perbaikan cepat jika terjadi kesalahan.