Di sudut kamar anak-anak atau di atas lemari tua di rumah nenek, kita sering melihat sebuah benda kecil berbentuk lucu—terbuat dari tanah liat, kadang berwarna-warni, dan di punggungnya ada celah untuk menyelipkan koin. Kita menyebutnya: celengan.
Nama itu begitu akrab. Kita tumbuh dengan kata itu, mengisi perutnya dengan receh, dan menunggu saat ia gemuk agar bisa kita pecahkan. Tapi pernahkah kita bertanya: kenapa disebut celengan? Apakah ada hubungannya dengan celeng—yang dalam bahasa Jawa berarti babi hutan?
Jawabannya cukup mengejutkan: iya, memang dari kata celeng itulah “celengan” berasal. Akar katanya adalah celeng, dan akhiran -an membentuk kata benda. Maka secara harfiah, “celengan” berarti “benda yang menyerupai atau berhubungan dengan celeng.”
Tentu, tidak berarti orang dulu menyimpan uang di dalam perut babi sungguhan. Tapi sejarah bahasa sering menyimpan kejutan: dahulu, banyak wadah menabung yang memang sengaja dibuat menyerupai bentuk babi. Di masa lalu, terutama dalam kebudayaan Jawa sebelum Islam mengakar kuat, babi bukanlah simbol najis. Ia malah sering diasosiasikan dengan kemakmuran, keberuntungan, dan kelimpahan. Lihat saja: hewan ini gemuk, makannya lahap, dan berkembang biak cepat. Dalam pandangan agraris, itu pertanda rezeki.
Simbol ini ternyata juga hidup dalam budaya lain. Dalam tradisi Tionghoa, babi dianggap membawa hoki. Di Barat, anak-anak diajari menabung lewat piggy bank—yang harfiah berarti bank babi. Tradisi menabung dalam wadah berbentuk babi ini meluas dan menginspirasi banyak kebudayaan, termasuk Nusantara.
Maka, kata “celengan” pun lahir. Bukan karena hewannya, tapi karena bentuk wadahnya. Dan meskipun kini banyak celengan yang berbentuk ayam, robot, bahkan tokoh kartun, nama “celengan” tetap bertahan—karena begitulah bahasa bekerja: yang dulu fisik, kini menjadi fungsi.
Namun, setelah Islam masuk dan mengakar kuat di Nusantara, persepsi terhadap babi berubah total. Ia kini identik dengan najis, haram, dan menjijikkan. Tapi anehnya, kata “celengan” tak ikut diharamkan. Kita tetap menabung di celengan tanpa merasa berdosa, meski asal katanya dari makhluk yang tidak boleh disentuh apalagi dimakan.
Lucunya, ini mencerminkan satu sisi menarik dari budaya kita: kita bisa sangat ketat dalam hukum, tapi lentur dalam bahasa.