Orang-orang biasa bisa jatuh di trotoar dan tak ada yang peduli. Tapi seorang pemimpin terpeleset lidah sedikit saja, bisa disiarkan berulang-ulang seolah itu bagian dari kitab undang-undang yang keliru dikutip.
Menjadi tokoh, berarti bersedia kehilangan hak atas ketenangan. Segala yang dulu dianggap sepele, kini dibedah, dianalisis, dan—jika perlu—diperkarakan. Bukan hanya sikap dan keputusan, bahkan gestur, cara tertawa, hingga nada batuknya pun bisa menjadi tafsir politik.
Namun bukan berarti dunia ini penuh pembenci. Kadang, perhatian memang tak bisa memilih bentuknya. Ia bisa berupa pujian, tapi juga bisa berupa sorak yang menghujat. Dan keduanya datang dari sumber yang sama: mata yang selalu menatap ke atas.
Menjadi pemimpin bukan berarti harus sempurna. Tapi ia harus kuat menanggung tafsir dari kekurangannya. Karena apa yang pada orang biasa disebut “manusiawi”, pada seorang tokoh sering dianggap “cacat moral”. Apa yang pada kita disebut “khilaf”, pada mereka diberi nama “bukti kebobrokan”.
Maka tidak adil menuntut pemimpin bebas dari cela. Tapi adil pula bila rakyat ingin ia lebih waras dari yang dipimpinnya. Karena itulah makna diangkat: bukan sekadar tinggi kedudukannya, tapi juga lebih dalam pemikirannya.
Kita, orang biasa, bisa berteriak sepanjang jalan tanpa masuk berita. Bisa loncat-loncat di tengah keramaian dan hanya dilihat sebagai hiburan kecil sore hari. Tapi para tokoh—berjalan saja harus dengan takaran. Diam pun harus ada maknanya.
Barangkali itulah sebabnya sebagian orang memilih tidak menjadi siapa-siapa. Karena hidup yang tenang kadang lebih nikmat daripada disorot terang dan digugat terus-menerus. Tapi dunia butuh pemimpin, meski harus kehilangan hak untuk sekadar menjadi manusia biasa.
Mas DWY