Budaya
Wahyu

Durian Berbuah Maja

Durian Berbuah Maja

03 Juli 2025 | 12:54

Tidak semua anak kiai akan menjadi kiai. Bahkan, tidak semua anak kiai ingin menjadi kiai. Ada yang mewarisi sorban, tapi tidak mewarisi keikhlasan. Ada yang menjaga nama, tapi bukan menjaga amanah. Ada yang memakai posisi, tapi bukan memikul tanggung jawab.

 

Maka tak heran bila sesekali kita jumpai anak kiai yang justru menjauh dari jejak suci ayahnya. Ilmu sang bapak tak dipelajari, guru-guru sang bapak ditinggalkan, pilihan hidup sang bapak dikritik—lalu diganti dengan hal-hal yang lebih "modern", lebih "menguntungkan", dan lebih "praktis". Namun yang tetap dipertahankan: pengaruh. Sebab nama bapaknya bisa membuka pintu yang tak akan terbuka oleh dirinya sendiri.

 

Sungguh, durian yang harum dan manis itu tak selalu menurunkan cita rasa yang sama. Kadang, justru yang tumbuh adalah maja—buah yang serupa luar tapi getir di dalam. Dan getirnya lebih dalam karena membawa embel-embel nama besar yang tak ia rawat.

 

Kita tentu tidak berhak menghakimi garis keturunan. Tapi tak bisa juga kita menutup mata: banyak warisan mulia runtuh bukan oleh musuh, tapi oleh darah daging sendiri. Bukan oleh fitnah luar, tapi oleh pengkhianatan dalam. Dan dalam sejarah pesantren, berulang kali terjadi: pesantren besar yang lahir dari keikhlasan, tumbang karena ketamakan anak cucu yang menganggap pondok itu warisan dagangan, bukan amanah perjuangan.

 

Kadang, si anak justru melihat perjuangan bapaknya sebagai beban. Ia ingin memakai singgasana tapi malas mengasah ilmu. Ia ingin dihormati seperti bapaknya tapi tak mau mengaji seperti bapaknya. Ia menuntut perlakuan yang sama, padahal ia tidak menjadi pribadi yang sama.

 

Sementara itu, sang ayah—yang dahulu istikamah bangun malam, mengajar kitab kuning dari pagi ke malam, hidup sederhana, dan tak pernah memperdagangkan doa—justru dilupakan. Dianggap ketinggalan zaman. Dikenang hanya sebagai simbol, bukan sebagai teladan.

 

Di titik ini, kita belajar satu hal: kemuliaan itu tidak diwariskan lewat nama, tapi lewat akhlak dan ilmu. Gelar “putra kiai” tak menjamin apa-apa jika hanya dipakai sebagai alat legitimasi. Dan pengaruh orang tua bisa jadi hanya akan membawa bencana bila tidak diiringi kelayakan dari dalam diri.

 

Sebab pada akhirnya, darah bisa diwariskan.

Tags:

Komentar Pengguna