Ekonomi itu Ilmu tentang Bertahan Hidup

Bagi banyak orang, ilmu ekonomi sering kali dibayangkan sebagai sesuatu yang rumit: tabel, grafik, teori makro dan mikro, kebijakan moneter, anggaran negara, pasar saham, hingga inflasi.
Tak jarang pula ekonomi dikaitkan secara sempit dengan uang, bisnis, dan dunia para bankir. Padahal, pada dasarnya, esensi paling mendasar dari ekonomi adalah soal bagaimana manusia bisa bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan hidupnya, baik secara individu, kelompok, hingga skala negara.
Oleh karena itu, Alfred Marshall (1842–1924) dalam Principles of Economics menegaskan “Economics is a study of mankind in the ordinary business of life “.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketika seseorang memutuskan apakah akan membeli beras atau bensin, menabung atau membelanjakan uangnya, memilih sekolah negeri atau swasta untuk anaknya, ia sedang menjalankan aktivitas ekonomi.
Bahkan ketika seseorang hanya berbagi makanan dengan tetangganya, atau menanam sayur di halaman rumahnya karena harga pangan naik, ia sedang mengambil keputusan ekonomi. Ekonomi adalah seni memilih dalam keterbatasan, dan pada hakikatnya, ia adalah ilmu tentang bertahan hidup.
Baca juga: Psikologi Bukan Ilmu tentang Jiwa, tapi ‘Kejiwaan’
Ekonomi Ada Sejak Manusia Ada
Sebelum dunia mengenal uang, bank sentral, atau lembaga perdagangan internasional, manusia purba telah menjalankan kegiatan ekonomi. Mereka berburu, meramu, menyimpan, dan menukar hasil tangkapan atau temuan alam dengan sesamanya. Sistem barter yang muncul kemudian adalah bentuk awal dari pertukaran nilai, dasar dari aktivitas ekonomi.
Dalam konteks ini, ekonomi sudah ada bahkan sebelum ditemukan istilah “ekonomi” itu sendiri. Aktivitas berburu, membangun tempat tinggal, bertukar barang, membagi makanan, hingga menyimpan cadangan air saat musim kemarau, semuanya adalah bentuk ekonomi purba, yaitu bagaimana manusia mengelola sumber daya untuk bertahan hidup.
Akar Filsafat Ekonomi: Dari Yunani ke Dunia Modern
Istilah ‘Ekonomi” berasal dari oikonomia, dari bahasa Yunani Kuno, yang berarti “pengelolaan rumah tangga”. Kata ini terdiri dari oikos (rumah tangga) dan nomos (aturan atau hukum).
Xenophon, salah satu murid Socrates, menulis risalah berjudul Oeconomicus, yang berisi percakapan tentang bagaimana mengelola rumah tangga, tanah, dan buruh.
Bagi Xenophon dan para pemikir Yunani, ekonomi bukan tentang uang semata, tetapi tentang bagaimana seseorang mengatur kehidupannya secara bijak dan efisien.
Bahkan Aristoteles kemudian membedakan antara oikonomia (ekonomi alami, pengelolaan kebutuhan) dan chrematistics (pencarian kekayaan).
Bagi Aristoteles, oikonomia bersifat etis karena bertujuan memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan chrematistics dapat bersifat amoral jika hanya mengejar akumulasi kekayaan tanpa batas.
Pandangan ini relevan hingga kini, saat banyak ekonomi global dibentuk oleh kepentingan korporasi besar, bukan kesejahteraan bersama.
Baca juga: Filsafat: Mbahnya Ilmu
Dari Skala Mikro ke Makro: Ekonomi Tetap Tentang Hidup
Di era modern, ketika kita membicarakan ekonomi nasional atau global, tentang neraca perdagangan, ketimpangan pendapatan, krisis pangan, atau perubahan iklim, kita tetap sedang membicarakan soal bertahan hidup dalam skala besar.
Negara membuat kebijakan fiskal dan moneter karena perlu memastikan rakyatnya tetap dapat makan, bekerja, dan hidup layak. PBB mendorong Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), salah satunya adalah menghapus kemiskinan dan kelaparan, kebutuhan paling dasar manusia.
Ekonomi tak pernah lepas dari kebudayaan, etika, dan nilai. Di satu sisi, ia bisa menjadi alat eksploitasi jika disalahgunakan. Di sisi lain, ia bisa menjadi sarana keadilan jika diarahkan dengan benar.
Ekonomi Islam, misalnya, menekankan nilai keberkahan, larangan riba, distribusi kekayaan melalui zakat dan wakaf, semuanya berpijak pada prinsip maslahah atau kemanfaatan umum.
Dalam banyak peradaban, termasuk di Indonesia, nilai-nilai lokal seperti gotong royong dan koperasi mencerminkan semangat ekonomi yang berakar pada kemanusiaan, bukan pada akumulasi.
Baca juga: Perjanjian Saragosa: Ketika Dua Penjelajah Nyasar dan Tak Sengaja Bertemu
Realitas Pendidikan Ekonomi di Indonesia: Terjebak Pada Angka
Sayangnya, dalam praktiknya di banyak sekolah di Indonesia, pembelajaran ekonomi sering kali kehilangan ruhnya. Guru sibuk mengejar kurikulum yang padat, murid dibebani hafalan istilah dan hitung-hitungan yang terlepas dari kehidupan mereka sendiri. Akibatnya, ekonomi hanya dipahami sebagai mata pelajaran, bukan sebagai alat hidup.
Murid ditanya definisi permintaan, tapi tak pernah diajak merefleksikan mengapa warung di kampungnya harus menaikkan harga saat musim hujan atau musim panas, murid tidak paham kenapa setiap idul fitri harga bakso dan mie ayam selalu naik.
Guru menjelaskan pasar persaingan sempurna, tapi tak mengajak siswa membayangkan bagaimana UMKM bertahan di tengah pasar ritel modern. Ekonomi menjadi kabur dan kehilangan makna.
Pendidikan ekonomi seharusnya mengajarkan siswa cara membuat keputusan keuangan sederhana, menabung, berwirausaha, memahami kebutuhan dasar keluarga, bahkan bagaimana bersikap adil saat berbagi sumber daya.
Jika sejak sekolah ekonomi diajarkan sebagai bagian dari kehidupan nyata, maka lahirlah generasi yang tidak hanya cerdas secara teori, tapi juga bijak dalam hidup.
Baca juga: Filsafat Pendidikan: Kenapa Manusia Harus Belajar dan Diajari?
Pendidikan Ekonomi yang Kontekstual dan Membumi
Sudah saatnya pembelajaran ekonomi di Indonesia dikembalikan ke akarnya: ilmu bertahan hidup. Bukan sekadar hafalan teori Adam Smith atau Keynes, tapi ajakan berpikir kritis dan reflektif: bagaimana saya bisa hidup secara cukup dan bermakna?
Bagaimana desa saya bisa mandiri secara pangan? Bagaimana saya bisa membantu orang tua merancang keuangan rumah tangga? Bagaimana ekonomi bisa sejalan dengan etika dan lingkungan?
Kurikulum ekonomi harus kontekstual, adaptif, dan membumi. Ia harus mengaitkan konsep pasar dengan pasar tradisional lokal. Ia harus mengajarkan ketahanan pangan lewat kebun sekolah.
Ia harus membahas keadilan ekonomi lewat isu ketimpangan di lingkungan sekitar siswa. Karena itulah hakikat sejati pendidikan ekonomi: menjadikan manusia cakap bertahan dan bijak mengelola hidupnya.***
Tags:
SejarahKomentar Pengguna
Recent Berita

Perlu Dipahami oleh Semua, Berikut Ini Fungsi...
01 Jul 2025
Mengulas Peristiwa Perebutan Yerusalem oleh S...
01 Jul 2025
Peristiwa Perang Badar, Perang Pertama dalam...
01 Jul 2025
Mengenal Sosok Sultan Jalaluddin Akbar, Pengu...
01 Jul 2025
Kisah Tamu dan Sepotong Roti Kadaluarsa
01 Jul 2025
Laksamana Malahayati: Sosok Perempuan Tangguh...
01 Jul 2025
Nuruddin Zanki: Tokoh Besar Islam dalam Peran...
01 Jul 2025
Malik bin Dinar dengan mimpi neraka Basrah
01 Jul 2025
Mengenal Timur Lenk, Panglima Perang Islam Ta...
01 Jul 2025
Dosa, penyesalan dan Hidayah
01 Jul 2025Greenhouse Inovatif Pondok Pesantren Kebon Ci...
01 Jul 2025
KH.HASAN IRAQIE ABDURRASYID :SOSOK ULAMA' YAN...
01 Jul 2025
Selain Pekerja, Ketua RT dan RW Juga Bisa Men...
01 Jul 2025
Tiga Kepala Sekolah Swasta Wakili Indonesia d...
01 Jul 2025
Jenis-Jenis Campuran Beserta Pengertiannya da...
30 Jun 2025
Peran Kerja Sama dalam Membangun Hubungan Sos...
30 Jun 2025
Aspek Kebahasaan dalam Puisi Rakyat yang Perl...
30 Jun 2025
Apa Itu Kurva? Penjelasan Lengkap dan Jenis-J...
30 Jun 2025
Mengenal Perangkat Penyimpanan Data dan Fungs...
30 Jun 2025