keboncinta.com --- Perceraian adalah jalan terakhir ketika rumah tangga sudah tidak bisa dipertahankan. Namun, meskipun ikatan suami-istri berakhir, tanggung jawab sebagai orang tua tidak pernah gugur. Justru setelah perceraian, masalah hak asuh anak atau hadhanah menjadi hal penting dan kerap menimbulkan sengketa.
Lalu, siapakah yang lebih berhak mengasuh anak setelah perceraian: ibu atau ayah?
Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qarib menjelaskan:
ููู ูุบุฉ ู ุฃุฎูุฐุฉ ู ู ุงูุญุถู ุจูุณุฑ ุงูุญุงุกุ ููู ุงูุฌูุจ ูุถู ุงูุญุงุถูุฉ ุงูุทูู ุฅูููุ ูุดุฑุนุง ุญูุธ ู ู ูุง ูุณุชูู ุจุฃู ุฑ ููุณู ุนู ุง ูุคุฐูู ูุนุฏู ุชู ููุฒู
Artinya: “Hadhanah secara bahasa berasal dari kata al-hidhnu yang berarti lambung, karena seorang perempuan mendekap anak di sisi lambungnya. Secara syar’i, hadhanah adalah menjaga anak yang belum mampu mengurus dirinya sendiri dari hal-hal yang membahayakan karena ia belum tamyiz.” (Fathul Qarib, hlm. 49).
Dari definisi ini, hadhanah adalah tanggung jawab merawat, mendidik, dan melindungi anak yang masih kecil atau orang yang tidak mampu mengurus dirinya.
Ulama sepakat bahwa seorang ibu lebih berhak mendapatkan hak asuh anak yang belum tamyiz. Hal ini karena ibu memiliki kasih sayang, kelembutan, dan kesabaran yang lebih besar dibanding ayah.
Rasulullah SAW menegaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud, dari Abdullah bin Umar:
ุฃูููู ุงู ูุฑูุฃูุฉู ููุงููุชู: ููุง ุฑูุณูููู ุงููููููุ ุฅูููู ุงุจูููู ููุฐูุง ููุงูู ุจูุทูููู ูููู ููุนูุงุกูุ ููุซูุฏูููู ูููู ุณูููุงุกูุ ููุญูุฌูุฑูู ูููู ุญูููุงุกูุ ููุฅูููู ุฃูุจูุงูู ุทูููููููููุ ููุฃูุฑูุงุฏู ุฃููู ููููุชูุฒูุนููู ู ูููููุ ููููุงูู ููููุง ุฑูุณูููู ุงูููููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู: «ุฃูููุชู ุฃูุญูููู ุจููู ู ูุง ููู ู ุชูููููุญูู»
Artinya: “Seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, anak ini berada dalam perutku sebagai tempatnya, di payudaraku sebagai minumannya, dan di kamarku sebagai tempat tinggalnya. Ayahnya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku. Rasulullah SAW bersabda: ‘Engkau lebih berhak atas anak itu selama engkau belum menikah lagi.’” (HR. Abu Dawud).
Hadis ini menjadi dalil kuat bahwa ibu adalah pihak yang paling berhak mengasuh anak kecil setelah perceraian, kecuali jika ia menikah lagi.
Dalam Al-Fiqhul Manhaji dijelaskan alasan mengapa ibu lebih utama dalam pengasuhan:
ุฅู ุงูุฃู ุฃุญู ุจุงูุญุถุงูุฉ ู ู ุงูุฃุจุ ููุฃุณุจุงุจ ุงูุชุงููุฉ: (ูก) ููููุฑ ุดููุชูุงุ ูุตุจุฑูุง ุนูู ุฃุนุจุงุก ุงูุฑุนุงูุฉ ูุงูุชุฑุจูุฉ. (ูข) ูุฃููุง ุฃููู ุจุญุถุงูุฉ ุงูุฃุทูุงูุ ูุฑุนุงูุชูู ุ ูุฃูุฏุฑ ุนูู ุจุฐู ู ุง ูุญุชุงุฌูู ุฅููู ู ู ุงูุนุงุทูุฉ ูุงูุญูู
Artinya: “Ibu lebih berhak atas hak asuh daripada ayah karena dua alasan: [1] kesempurnaan kasih sayang dan kesabarannya dalam merawat serta mendidik anak, [2] kelembutannya dalam mengasuh, serta kemampuannya memberikan perhatian dan kasih sayang.” (Al-Fiqhul Manhaji, IV/192).
Meskipun ibu lebih diprioritaskan, hak hadhanah tidak otomatis diberikan jika syaratnya tidak terpenuhi. Dalam Matn Taqrib disebutkan:
ูุดุฑุงุฆุท ุงูุญุถุงูุฉ ุณุจุน ุงูุนูู ูุงูุญุฑูุฉ ูุงูุฏูู ูุงูุนูุฉ ูุงูุฃู ุงูุฉ ูุงูุฅูุงู ุฉ ูุงูุฎูู ู ู ุฒูุฌ ูุฅู ุงุฎุชู ู ููุง ุดุฑุท ุณูุทุช
Artinya: “Syarat hadhanah ada tujuh: berakal, merdeka, beragama Islam, menjaga diri dari dosa besar, amanah, menetap, dan tidak menikah dengan laki-laki asing (yang bukan mahram anak). Jika satu syarat hilang, maka gugurlah hak asuhnya.” (al-Taqrib, hlm. 49).
Hal ini bertujuan agar anak benar-benar mendapat pengasuhan yang baik. Misalnya, jika ibu menikah lagi, maka hak asuh bisa berpindah kepada ayah atau pihak keluarga terdekat yang memenuhi syarat.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 menyebutkan:
Anak yang belum tamyiz (di bawah 12 tahun) hak asuhnya jatuh kepada ibu.
Anak yang sudah tamyiz berhak memilih ikut ayah atau ibu.
Ketentuan ini sejalan dengan syariat Islam yang memandang anak kecil lebih membutuhkan kasih sayang dan perawatan seorang ibu.
Hak asuh anak (hadhanah) setelah perceraian pada dasarnya diprioritaskan kepada ibu, terutama selama anak belum tamyiz. Namun, hak ini gugur bila syarat-syaratnya tidak terpenuhi, misalnya ibu menikah lagi atau dianggap tidak mampu memberikan pengasuhan yang layak.
Baik Islam maupun hukum positif Indonesia sama-sama menempatkan kepentingan dan kesejahteraan anak sebagai prioritas utama. Oleh karena itu, hak asuh bukan sekadar soal status hukum, melainkan juga amanah besar di hadapan Allah SWT.
Wallahu a’lam.