Kisah Teladan: Suami dari Putri Kiainya

Kisah Teladan: Suami dari Putri Kiainya

09 Juli 2025 | 14:44

Di era modern yang gemar memamerkan kemesraan di media sosial, kisah Syekh Abul-Khair al-Maydani, ulama besar mazhab Hanafi yang wafat sekitar 75 tahun lalu, hadir sebagai teladan yang menyejukkan. Kisah ini bukan berasal dari drama televisi, melainkan dari kehidupan nyata seorang ulama di Suriah. Beliau menikahi putri kiainya sendiri, Syaikhah Fatimah, putri dari gurunya, Syaikh Isa al-Kurdi. Syaikhah Fatimah bukan hanya istri ulama, tetapi juga seorang alimah, ahli fikih, dan sarjana ilmu agama yang terhormat. Kealimannya begitu tinggi sehingga sang suami, seorang ulama besar, selalu berdiri hormat di hadapannya – bukan karena takut, melainkan karena rasa cinta dan adab yang mendalam. Cinta mereka bukan tentang dominasi, melainkan saling percaya dan menghargai.

 

Meskipun Syaikhah Fatimah diketahui mandul, Syekh Abul-Khair tetap setia hanya kepadanya. Banyak tokoh berpengaruh di Suriah menawarkan putri mereka untuk dinikahi Syekh, berharap mendapatkan keturunan dan pewaris ilmu. Namun, Syekh menolak semua tawaran tersebut dengan alasan yang mulia: “Aku khawatir menyakiti hatinya. Lagipula, aku sudah merasa cukup dengan santri-santriku sebagai anak-anakku.”

 

Kisah ini bukan tentang seorang suami yang takut pada istrinya, melainkan tentang seorang suami yang tidak takut kehilangan adab dan menghormati kealiman istrinya. Berbeda dengan realita saat ini, di mana sebagian suami yang menikahi putri kiainya merasa lebih tinggi derajatnya, bahkan cenderung meredupkan kealiman istri mereka demi mempertahankan ego. Syekh Abul-Khair membuktikan bahwa menikahi putri kiainya adalah tentang pengabdian, bukan gengsi. Menjadi suami seorang wanita alim berarti harus terus belajar dan melayani, bukan hanya memimpin shalat, tetapi juga memahami dan melayani perasaan pasangan.

 

Pesan moral yang disampaikan kisah ini sangat relevan: dalam rumah tangga, tidak ada yang kalah atau menang. Yang terpenting adalah siapa yang lebih dulu memilih untuk mencintai dengan cara yang paling mulia. Ketidakmampuan memiliki anak bukanlah kekurangan, karena keberlanjutan ilmu dan kebaikan bisa terwujud melalui murid-murid dan santri yang dibimbing. Cinta sejati terkadang bukan yang paling lantang, tetapi yang paling lembut dan penuh pemahaman. Kisah Syekh Abul-Khair dan Syaikhah Fatimah menjadi inspirasi bagi kita semua untuk membangun rumah tangga yang dipenuhi dengan cinta, hormat, dan pengabdian.

Tags:

Komentar Pengguna