Kurir
Mari kita bayangkan sebuah dunia distopia. Dunia di mana seseorang datang ke rumah Anda, mengantarkan barang pesanan Anda, tepat waktu, lengkap, dan sesuai alamat. Tapi kemudian ia dimaki, dicurigai, bahkan difitnah, hanya karena barangnya tidak seperti yang Anda ekspektasikan. Bukan rusak, bukan hilang, bukan telat. Cuma… tidak sesuai imajinasi Anda. Dan Anda merasa paling benar karena, ya, Anda pelanggan. Yang konon katanya raja.
Inilah nasib kurir zaman ini. Ia bukan penjual, bukan pemilik toko, bukan pihak produsen. Tapi dialah yang diseret ke tengah pusaran kekecewaan pelanggan yang temperamennya lebih meledak dari diskon 11.11. Semua emosi tumpah pada satu sosok: kurir. Karena yang lain hanya akun anonim di marketplace, sedang kurir nyata berdiri di depan pagar rumah Anda. Tangannya membawa paket. Matanya berharap tidak dimaki hari ini.
Lucunya, masyarakat kita — yang sebagian besar merasa tidak perlu belajar karena merasa sudah mengerti — sering menganggap kurir itu seperti duta resmi produsen. Bahkan semacam sales sekaligus customer service berjalan. Kalau paketnya jelek, kurirnya harus minta maaf. Kalau salah warna, kurir harus menjelaskan. Kalau barangnya tidak sesuai gambar, kurir harus bertanggung jawab. Dan jika pembeli sedang stres, maka kurir adalah penebus dosa segala algoritma digital.
Padahal tugas kurir, secara sederhana dan terang benderang, hanyalah: mengantarkan barang dari titik A ke titik B sesuai sistem. Tidak lebih. Mereka tidak ikut memilih barang, tidak membungkusnya, tidak menciptakan produknya.