Lesehan Pikiran
Kadang, kita harus menanggalkan kursi tinggi dan duduk di lantai.
Menurunkan frekuensi, menanggalkan keangkuhan logika,
dan ikut berpikir dari tanah—bukan dari langit.
Karena tidak semua obrolan bisa dijangkau dari menara.
Ada pikiran-pikiran yang tidak sampai jika disampaikan terlalu tinggi.
Bukan karena yang di sana tuli,
tapi karena mereka belum belajar mendengar suara yang bergema di udara yang terlalu tipis.
Kata temanku,
jika ingin dipahami, duduklah. Lesehanlah. Turunkan nada, pelankan irama.
Bukan demi merendah, tapi demi menyentuh.
Aku mulai mengerti,
mengapa para guru besar dalam sejarah justru memilih duduk bersila,
mengapa para wali lebih sering menyapa dengan cerita ketimbang dalil.
Karena mereka tahu: kebenaran yang terlalu tinggi kadang membuat orang silau, bukan tercerahkan.
Dan bukan soal pintar atau tidak,
kadang hanya soal jarak.
Kita terlalu ingin didengar, sampai lupa bahwa mereka belum siap mendengar.
Kita terlalu ingin menjelaskan, sampai lupa bahwa mereka sedang mencari bahasa yang bisa mereka cerna.
Apa gunanya berbicara dengan frekuensi yang tak bisa ditangkap?
Itu bukan komunikasi,
itu siaran kosong—gemanya hanya memantul ke dinding ego sendiri.
Maka aku belajar diam,
belajar duduk, belajar mendekat tanpa menggurui.
Karena mungkin, di lantai itu,
ada keheningan yang lebih bijak dari ribuan kalimat yang kita lontarkan dari atas mimbar.
Turun bukan kalah.
Turun adalah cara tertinggi untuk naik ke dalam hati orang lain.