Di zaman sekarang, semua orang ingin dipandang baik. Ironisnya, bahkan pencuri pun merasa menjadi korban. "Saya bukan pencuri," katanya, "saya hanya berusaha mencari nafkah. Anak saya butuh sekolah. Hidup ini keras, dan saya hanya berusaha bertahan."
Ia melanjutkan, "Jangan hanya melihat saya dari sisi negatif. Saya juga suka bersedekah. Pernah menyumbang ke masjid, pernah membantu anak yatim. Apakah karena satu dua barang yang saya ambil, seluruh hidup saya harus dihakimi?"
Hebatnya, pencuri zaman sekarang lebih pandai merumuskan pembenaran diri daripada sekadar mencuri. Mereka tak hanya mengambil barang, tetapi juga merebut ruang untuk membenarkan tindakan mereka. Bahkan korban pun seringkali disalahkan: "Salah sendiri, menyimpan barang sembarangan."
Begitulah realita zaman sekarang. Yang salah semakin pandai berbicara, sementara yang benar semakin takut bersuara. Pencuri tak hanya mengambil harta benda, tetapi juga membawa narasi baru: bahwa mereka sebenarnya adalah pahlawan yang berjuang dalam diam.
Namun, sebesar apapun dalih yang dibuat, dosa tetaplah dosa. Jika semua kesalahan dibungkus dengan niat baik, maka tak akan ada lagi kejahatan di dunia ini. Semua hanya akan disebut "berjuang".
Jika pencuri saja merasa bangga karena pernah bersedekah, jangan heran jika kelak koruptor juga akan mengadakan seminar tentang "etika hidup mewah sederhana."