Kita ini aneh. Malu kalau wajah tidak menarik. Malu kalau bajunya tidak bermerek. Malu kalau motor kita kalah keren. Tapi maksiat? Santai. Seolah Tuhan itu jauh. Seolah malaikat itu tidak mencatat.
Mestinya kita malu kalau masih terus melanggar, bukan kalau belum viral. Mestinya kita merasa rendah saat berdosa, bukan saat dompet kosong. Tapi kenyataannya, banyak orang justru lebih gelisah karena ketinggalan tren daripada ketinggalan shalat. Lebih risau tidak punya iPhone terbaru daripada tidak punya taubat yang sungguh-sungguh.
Kita seperti sedang hidup di dunia terbalik. Di mana aib rohani ditutupi dengan pencitraan digital. Di mana kesalahan di hadapan Allāh ﷻ dianggap lebih ringan daripada kesalahan ketik di caption Instagram.
Kita khawatir dinilai tidak lucu. Tidak pintar. Tidak layak. Tapi tidak terlalu khawatir dinilai hina oleh Tuhan yang menciptakan dan mencatat segalanya.
Padahal rasa malu itu, kalau benar, mestinya mencegah kita dari perbuatan kotor.
“Kalau tidak bisa jadi orang baik, minimal jangan jadi orang yang tidak tahu malu,” kata seorang guru saya dulu.
Tapi sekarang, yang penting percaya diri. Yang penting pede. Berselingkuh pede. Pamer dosa pede. Berkata kotor pede.
Kalau ditegur?