keboncinta.com --- Menurut Dwikorita, penerapan AI adalah bagian dari transformasi digital BMKG. Teknologi ini memungkinkan prediksi curah hujan yang:
β
Lebih cepat
β
Lebih detail
β
Lebih presisi hingga tingkat kabupaten
Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan informasi iklim yang relevan untuk sektor strategis seperti:
Pertanian
Energi
Kesehatan
Infrastruktur
Mitigasi bencana
Selain itu, AI membantu mengatasi tantangan prediksi akibat kondisi iklim global yang semakin tidak stabil, termasuk fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang saat ini berada dalam fase netral.
“Di tengah tantangan perubahan iklim global yang kian sulit diproyeksikan, inovasi ini memastikan informasi BMKG tetap andal dan berguna bagi masyarakat,” ujar Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan bahwa kondisi ENSO dan IOD netral membuat prediksi musim hujan 2025/2026 lebih sulit. Ketidakaktifan kedua fenomena ini memaksa BMKG menggunakan pendekatan baru dengan integrasi data lokal dan regional melalui AI.
Ia mencontohkan anomali iklim tahun ini:
Kemarau disertai banjir di Jabodetabek pada Juli
Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan
“Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan tentang ENSO dan IOD saja tidak cukup,” katanya.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menekankan bahwa prediksi iklim memang tidak mudah. Namun, Indonesia sebagai wilayah tropis memiliki sinyal prediktabilitas dari karakteristik laut yang dapat dimanfaatkan.
Hal terpenting adalah BMKG menyampaikan tingkat kepastian dan ketidakpastian prediksi agar:
Masyarakat punya pegangan informasi
Pemangku kepentingan dapat menjadikannya dasar perencanaan
“Sangat penting bagi informasi yang kita hasilkan untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan atau perencanaan,” kata Ardhasena.
BMKG juga menegaskan perlunya kolaborasi dengan kementerian dan lembaga lain agar informasi iklim menjadi dasar perencanaan nasional, mulai dari ketahanan pangan, energi, hingga mitigasi bencana hidrometeorologi.