Di sebuah riwayat sahih dari Imam Bukhari, disebutkan bahwa mengetahui nasab itu penting—bukan untuk pamer, bukan untuk sombong, apalagi untuk konten YouTube klarifikasi keturunan—tapi untuk mempererat silaturahim. Simpel. Sesederhana itu. Tapi ya begitulah, semakin sederhana kebenaran, semakin rumit cara manusia menyalahgunakannya.
Hari ini, pembahasan nasab tak ubahnya seperti bahan gorengan: digoreng panas-panas, dijual di mana-mana, dan entah mengapa selalu laris, meski isinya kadang cuma angin. Kita lebih hafal urutan nasab orang lain daripada mengingat nasab kita sendiri. Apalagi nasab amal. Jangankan menjalin silaturahim, yang terjadi malah silat lidah, silat data, bahkan silat screenshot silsilah palsu.
Lucunya, sebagian orang baru merasa punya kehormatan setelah menemukan satu garis samar menuju seseorang, padahal dia tak pernah sungkem ke orang tuanya sendiri. Belum pernah minta maaf ke tetangganya yang tiap hari terganggu sama suara "sound horeg"-nya. Tapi begitu menemukan silsilah langsung bahagia, langsung upload dengan caption: “Maafkan ini nasab saya yang baru.”
Aneh. Yang harusnya ilmu untuk saling menguatkan, malah dijadikan alat menyakiti. Yang harusnya menjalin persaudaraan, malah jadi alat membatalkan kewalian. Kalau tidak, mungkin surga pun nanti dikotak-kotakkan: VIP, Ekonomi Awam, dan Neraka bagi yang tidak punya surat resmi dari lembaga nasab internasional.
Padahal, ironisnya, banyak dari kita ini justru tak bisa merawat nama baik keluarga sendiri. Tapi entah kenapa, lebih sibuk membedah nasab orang lain dengan gaya detektif silsilah. Sungguh kasihan. Nasab orang jadi urusan harian, tapi nasib sendiri tidak pernah direnungkan.
Silaturahim? Sudah bubar duluan di grup keluarga. Padahal, katanya keturunan mulia. Tapi mulia dari mana kalau postingannya cuma menebar rasa benci?
Jadi, mungkin sudah waktunya kita bertanya: Apakah kita ini benar-benar sedang memperjuangkan kehormatan keluarga... atau hanya sedang menutupi kehampaan hidup dengan nama-nama yang tak kita warisi kecuali di kepala?