Pacaran Setelah Menikah
Pacaran itu manis. Apalagi kalau dilakukan setelah menikah. Tapi yang satu ini beda. Bukan pacaran dengan istri sendiri. Tapi dengan perempuan lain, yang bukan muhrim, bukan mahram, bahkan bukan muhasabah. Tapi entah kenapa, mereka bisa saling menguatkan. Saling menyemangati. Saling mengirim emoji.
Saya selalu kagum dengan keberanian macam itu. Sudah punya anak, bahkan ada yang anaknya dua, tetap saja masih bisa mesra-mesraan di status WhatsApp dengan seseorang yang bukan ibunya anak-anak. Mungkin ini bentuk cinta tertinggi: cinta yang melampaui tanggung jawab, janji pernikahan, dan nalar sehat.
Lucunya, sebagian dari mereka marah besar kalau anak gadisnya dekat dengan lawan jenis. Katanya, itu bukan akhlak orang beriman. Tapi mereka sendiri—dengan dalih “teman curhat”, “rekan kerja”, atau “sekadar hiburan di usia senja”—sudah jauh melampaui batas. Lalu ketika disinggung, mereka bilang: “Kita kan manusia biasa.” Ah iya, manusia biasa memang istimewa: bisa mengkhianati tanpa merasa bersalah.
Saya kadang berpikir: apa jadinya kalau anak-anak mereka membaca isi chat yang mereka kirim diam-diam? Mungkin akan muncul semacam rasa muak yang tak bisa didefinisikan. Tapi entahlah, sebagian orang memang tidak takut anaknya meniru, selama belum ketahuan. Toh, yang penting tampil alim di depan publik. Di balik layar? Boleh dong sedikit ‘refreshing’.
Dosa? Itu urusan belakang. Yang penting sekarang bahagia dulu.