Kumal Adalah Simbol, Bukan Standar
Ada yang menginginkan ulama tetap kumal. Miskin. Tinggal di kampung. Menolak cahaya, menjauhi kota, tidak boleh dekat dengan kekuasaan. Seakan-akan kesucian hanya tumbuh di gubuk, dan keikhlasan hanya hidup di tengah kesunyian. Seolah Allāh ﷻ hanya mencintai debu, dan tidak menyukai cahaya lampu kristal.
Saya tidak tahu sejak kapan kita mencurigai tampilan rapi sebagai tanda kepalsuan. Atau menyamakan kemiskinan dengan keikhlasan.
Mungkin, karena kita terlalu sering dikecewakan oleh orang-orang yang fasih berbicara agama, tapi justru menukar ayat-ayat dengan kekuasaan. Mungkin pula karena kita terlalu sering menyaksikan ustadz tampil seperti selebritas, naik panggung dengan pencahayaan sempurna, lalu turun dengan tarif mahal. Tapi dari kekecewaan itu, lahirlah kecurigaan baru yang tak kalah keliru: bahwa semua yang dekat dengan kekuasaan pasti tidak ikhlas, dan semua yang jauh pasti suci.
Padahal, kata Imam al-Ghazali, ikhlas itu "sirrun min asrārillāh" — rahasia dari rahasia-rahasia Allah. Ia tak bisa dilihat dari jubah, dari sandal, dari rumah, atau dari jumlah followers. Ia tumbuh di tempat yang tak bisa dilacak oleh pandangan manusia: di niat. Dalam keheningan yang hanya diketahui Tuhan.
Ulama di masa lalu pun tidak seragam tampilannya. Ada Abu Dzar yang miskin, tapi juga ada Sayyidina Utsman yang kaya raya. Ada Imam Malik yang bajunya wangi dan mewah, tapi tetap disegani. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan, “Sebaiknya seorang penuntut ilmu itu juga tampil rapi dan bersih, karena hal itu menunjukkan kesungguhan dan wibawa.” Jadi, berpakaian bersih bukan berarti tidak zuhud, dan tinggal di kota bukan berarti kehilangan keberkahan.
Kita terlanjur menyamakan kesederhanaan dengan kebenaran. Mungkin karena kita ingin sesuatu yang mudah dipercaya. Tapi yang sederhana belum tentu benar. Dan yang benar belum tentu sederhana.
Pakar bahasa Indonesia, Hasan Alwi, pernah menyinggung bahwa "makna konotatif sering mengaburkan makna denotatif." Artinya, kita sering menilai sesuatu dari asosiasi rasa, bukan dari makna yang sebenarnya. Maka kumal diasosiasikan dengan zuhud. Sementara kemewahan dianggap tanda keburukan.