Keboncinta.com-- Alam semesta tempat kita hidup ini merupakan anugerah dari Allah SWT yang senantiasa harus kita jaga kelestariannya. Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menjelaskan akan pentingnya menata ulang cara kiata memandang alam semesta ini.
Menag mengungkapkan bahwa alam tempak kita tinggal ini perlu diposisikan bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai mitra dalam kehidupan makhluk hidup.
Menag menyebut konsep ekoteologi sebagai pendekatan spiritual Islam yang relevan untuk merespons krisis lingkungan. “Kalau kita menganggap alam hanya objek, maka matilah rasa kita,” terang Menag saat membuka International Conference on Islamic Ecotheology for the Future of the Earth (ICIEFE) 2025 dan Kick-Off for the Refinement of MoRA’s Qur’anic di Jakarta, Senin (14/7/2025).
Forum konferensi internasional ini adalah rangkaian dari Peaceful Muharam yang digelar Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama.
Dalam kegiatan ini turut hadir peserta dari unsur pemerintah, akademisi dalam dan luar negeri, masyarakat sipil, media, generasi muda dari pesantren, universitas, serta komunitas lingkungan.
Menag menerangkan manusia perlu membangun hubungan emosional dan spiritual dengan alam. Untuk itu, ia mendorong pemanfaatan “otak kanan” dalam memahami alam, bukan sekadar logika dan nalar saja.
Sebagai contoh, masyarakat ribuan tahun lalu yang mampu bertahan hidup tanpa bantuan teknologi modern. Mereka, kata Menag, mengandalkan kedekatan dan persahabatan dengan alam dalam menjalani kehidupan setiap harinya.
“Mereka tidak membutuhkan laboratorium dan teknologi canggih, tetapi bisa bertahan hidup. Cara mereka adalah melalui persahabatannya dengan alam,” terangnya.
Pemahaman akan ekoteologi, kata Menag, tidak bisa dilepaskan dari kajian kosmologi. Ia merujuk pandangan sufi Ibnu Arabi yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang benar-benar memiliki wujud sejati, sementara alam adalah bayangan dari-Nya.
“Demikian pula kalau kita lihat tradisi Hindu di Bali, mereka sangat menghormati pohon-pohon besar. Sejak dulu telah menganggap alam ini sebagai partner. Makanya, mereka tidak berani menebangnya, bukan karena takut, tetapi dianggap sebagai bagian yang sama dengan dirinya,” ungkapnya.
Kemudian, Menag menambahkan, perubahan perilaku terhadap alam juga tidak bisa terjadi tanpa perubahan teologi. Menurutnya, teologi saat ini terlalu maskulin, padahal Tuhan sangat erat dengan sifat feminin yang penuh kasih sayang terhadap ciptaan-Nya.
“Untuk itu, kita butuh kelembutan dalam memahami Tuhan dan alam," tutupnya.
Menjaga kelestarian alam merupakan tugas kita bersama demi kehidupan anak cucu kita di mssa depan, agar mereka masih merasakan keasrian alam lingkungan tempat mereka hidup di dunia.***
Sumber: Kemenag RI