Teknologi
M. Fadhli Dzil Ikram

Post Truth: Ancaman Nyata terhadap Kredibilitas Informasi di Era Digital

Post Truth: Ancaman Nyata terhadap Kredibilitas Informasi di Era Digital

04 September 2025 | 08:11

keboncinta.com --- Di era digital dengan arus informasi yang begitu deras, fenomena post truth menjadi tantangan serius bagi masyarakat. Apa itu post truth? Istilah ini merujuk pada kondisi ketika emosi dan opini pribadi lebih berpengaruh dibandingkan fakta objektif dalam membentuk persepsi publik.

Fenomena ini semakin populer setelah Oxford Dictionaries menetapkannya sebagai Word of the Year pada 2016, seiring meningkatnya hoaks dan propaganda politik di berbagai belahan dunia.


Apa yang Dimaksud dengan Post Truth?

Post truth bukan sekadar berita palsu. Lebih dari itu, ia menciptakan ekosistem di mana kebenaran menjadi relatif, digantikan oleh narasi emosional. Dalam situasi ini, publik lebih percaya pada influencer, akun anonim, atau tokoh populis ketimbang media kredibel dan hasil penelitian ilmiah.

Angga Prawadika Aji, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNAIR, menyatakan bahwa fenomena post truth tidak hanya mengaburkan batas antara fakta dan opini, tetapi juga mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan.


Dampak Post Truth terhadap Demokrasi dan Masyarakat

Fenomena ini bisa mengancam proses demokrasi, karena masyarakat tidak lagi berdebat berdasarkan fakta, melainkan “versi kebenaran” yang mereka yakini. Akibatnya:

  • Publik lebih bergantung pada tokoh populer seperti influencer.

  • Validitas informasi jarang dipertanyakan.

  • Hoaks cepat menyebar dan menimbulkan keresahan.

Indonesia juga tidak luput dari fenomena ini. Contohnya terjadi pada awal pandemi COVID-19 tahun 2020, ketika banyak informasi palsu tentang vaksin menyebar di media sosial, seperti klaim vaksin menyebabkan kelumpuhan atau mengandung chip untuk melacak manusia. Misinformasi ini membuat banyak orang enggan divaksin.


Mengapa Post Truth Berbahaya?

Informasi yang menyentuh emosi seperti rasa takut, marah, atau benci, lebih cepat dipercaya dan disebarkan ketimbang fakta berbasis data. Studi MIT menemukan bahwa berita palsu 70% lebih mungkin dibagikan dibanding berita benar.

Selain itu, survei Edelman Trust Barometer 2021 menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, media, dan institusi menurun drastis. Akibatnya, banyak orang lebih percaya informasi dari lingkaran sosial yang belum tentu terverifikasi.

Fenomena ini membuat para ahli menyebut era ini sebagai “kematian kepakaran”, di mana popularitas mengalahkan kredibilitas.


Cara Mengatasi Fenomena Post Truth

Untuk melawan dampak negatif post truth, ada beberapa langkah penting:

1. Tingkatkan Literasi Digital

Sebelum membagikan informasi, periksa kebenaran sumber dan tanyakan validitasnya. Literasi digital menjadi benteng utama agar masyarakat tidak mudah terjebak hoaks.

2. Percaya pada Media Kredibel

Media arus utama, meskipun tidak sempurna, tetap menjalankan proses verifikasi berita, seperti pengecekan fakta dan konfirmasi narasumber. Seperti kata Bill Kovach, jurnalisme adalah langkah pertama menuju kebenaran.

3. Peran Pemerintah dan Platform Digital

Pemerintah harus bekerja sama dengan platform besar seperti Meta, TikTok, dan X (Twitter) untuk memperketat moderasi konten berbahaya, termasuk hoaks dan deepfake. Namun regulasi saja tidak cukup—kemampuan berpikir kritis masyarakat adalah kunci.


Kesimpulan: Fakta Adalah Pegangan di Era Post Truth

Post truth bukan sekadar istilah akademis. Ia adalah realitas sehari-hari yang kita hadapi di media sosial, grup chat, hingga debat politik. Kita harus lebih kritis, hati-hati, dan berani memverifikasi informasi.

Di dunia yang penuh “versi kebenaran”, fakta sederhana justru menjadi pegangan paling kokoh. Untuk menjaga demokrasi dan ruang publik yang sehat, kita perlu mengutamakan data, fakta, dan jurnalisme yang kredibel dibanding sekadar mengikuti arus emosi.

Tags:
teknologi

Komentar Pengguna