Masalahmu, dengarkan sendiri.
Duduklah barang sebentar dengan dirimu sendiri.
Jangan buru-buru cari telinga lain.
Karena belum tentu mereka mengerti, dan belum tentu kau sendiri siap dimengerti.
Biarkan hatimu berbicara panjang lebar,
tanpa kau potong, tanpa kau bantah.
Biarkan ia menyampaikan semua yang tertahan.
Dengarkan dengan diam.
Bukan pasrah, tapi sadar bahwa kadang, suara paling jujur
hanya terdengar saat dunia sedang senyap.
Jangan tergesa minta tanggapan.
Karena tidak semua yang gaduh butuh dijawab.
Ada suara yang sedang kalut,
dan menjawabnya justru menyulut.
Sepi kadang lebih bijak
daripada kalimat-kalimat yang kita susun dengan tergesa.
Ia tidak membenarkan, tidak menyalahkan,
tapi hadir sebagai ruang bagi diri untuk bernapas.
Jangan turuti berteriak.
Sebab suara keras bukan tanda kuat,
melainkan tanda tak tahu cara bicara dengan hati sendiri.
Berdiam.
Biarkan malumu menyadarkanmu,
bahwa yang perlu dipadamkan bukan dunia,
tapi bara kecil di dalam dada yang kau pelihara sendiri.
Kadang, menjadi dewasa
adalah memilih diam saat kita ingin membantah,
dan memilih duduk saat ego ingin berdiri.
Karena sepi, diam, dan malu—
adalah sahabat dari jiwa yang ingin benar-benar pulih.