Keboncinta.com-- Kisah Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra bukan sekadar cerita cinta dalam sejarah Islam, tetapi teladan tentang ketulusan yang disampaikan tanpa banyak kata. Ali adalah sosok pemberani di medan perang, namun di hadapan Fatimah, ia menunjukkan sisi lain: cinta yang tenang, lembut, dan tidak banyak bicara. Inilah seni menyayangi dalam diam—cinta yang lebih banyak ditunjukkan melalui perbuatan daripada ucapan.
Sejak sebelum menikah, Ali memendam rasa kagum kepada Fatimah, tetapi ia tidak berani mengungkapkannya secara berlebihan. Ia tahu bahwa cinta terbaik adalah yang diserahkan kepada Allah, bukan diikuti dengan desakan atau paksaan. Bahkan ketika melamar, Ali datang apa adanya, membawa baju besinya sebagai mahar—simbol bahwa ketulusannya lebih berharga daripada harta.
Setelah menikah, Ali menunjukkan cintanya melalui kerja keras dan pengorbanan. Ia menimba air, memikul beban, dan membantu pekerjaan rumah, sementara Fatimah menggiling gandum hingga tangannya melepuh. Mereka mungkin hidup dalam kesederhanaan, tetapi cinta mereka kaya akan keberkahan. Ali mencintai dengan tindakan, bukan dengan pujian yang berlebihan.
Salah satu ungkapan paling indah datang dari Ali ketika ditanya tentang perasaannya kepada Fatimah. Ia berkata, “Cintaku padanya tersimpan dalam hati; bila aku menyebutnya, hanya Allah yang mendengarnya.” Kalimat ini menggambarkan cinta yang tidak riuh, tetapi dalam dan terjaga kemurniannya.
Cinta Ali dan Fatimah mengajarkan bahwa kasih sayang tidak selalu harus diumbar. Terkadang, yang paling bermakna adalah perhatian yang ditunjukkan melalui kesetiaan, kerja sama, dan doa yang dipanjatkan diam-diam. Itulah cinta yang tidak mencari tepuk tangan, melainkan ridha Allah.
Dalam dunia sekarang yang penuh pamer dan kata-kata, seni menyayangi dalam diam menjadi pengingat bahwa ketulusan sejati tidak selalu terlihat, namun selalu terasa. Cinta seperti inilah yang diwariskan Ali kepada Fatimah—cinta yang lembut, bersih, dan penuh keberkahan.
Contributor: Tegar Bagus Pribadi