"Allahumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad Nabi ummihi wa 'ala aalihi wa baarik wassalim."
Siapa "aku ini"? Pertanyaan sederhana ini menyimpan kedalaman makna yang sering luput dari kesadaran kita. Pernahkah tubuh kita bergerak tanpa disadari? Mata memandang tanpa tujuan, lidah mengucapkan kata-kata tak terencana, tangan bergerak tanpa alasan. Kita menyebutnya "lupa" atau "tak sengaja." Namun, benarkah itu sekadar kebetulan?
Jika kita merenung lebih dalam, kita akan menyadari bahwa tak ada satu pun gerakan yang terjadi tanpa izin Allah SWT. Setiap gerak, sekecil apa pun, memiliki Pemilik dan Penggerak. Gerakan bukanlah semata hasil rencana atau pikiran kita, melainkan manifestasi dari kehendak-Nya. Langkah kaki, bisikan hati, bahkan kedipan mata—semuanya adalah af'al, perbuatan yang sumbernya berasal dari-Nya.
Sering kali kita merasa, "aku yang melakukan." Namun, jika mata hati terbuka, kita akan memahami bahwa tak ada "aku" yang sebenarnya. Hanya Allah SWT, Sang Maha Menggerakkan. Kita sering berkata, "Aku kuat," "Aku bisa," padahal tanpa kekuatan-Nya, tangan tak mampu terangkat, kaki tak bisa berdiri, lidah tak dapat berkata, bahkan napas pun tak akan mengalir. Segala sesuatu terjadi karena Dia mengizinkan. Begitu halus cara-Nya bekerja, hingga kita sering lupa bahwa semuanya berasal dari-Nya. Termasuk gerakan-gerakan kecil yang kita anggap sepele.
Ketika hati mulai menyadari bahwa tak satu pun berasal dari kita, yang terasa bukanlah ketakutan, melainkan kelegaan. Kita tak perlu memikul beban seberat itu, tak perlu menjadi pemilik atau pengendali. Kita cukup menjadi hamba.
Air mata yang tiba-tiba jatuh, langkah kaki yang tanpa sadar menuju tempat yang tepat, perkataan yang tak terencana namun menyentuh jiwa—itu semua bukanlah karena kepandaian kita. Itulah Allah SWT yang sedang berbicara, kasih sayang-Nya yang menyentuh lewat gerakan kita.
Segala sesuatu bergerak karena-Nya: daun yang gugur, ombak yang menyentuh pantai, bahkan bisikan hati yang tak terdengar. Tak ada yang luput dari kehendak-Nya. Jika suatu hari kita tak lagi merasa "aku yang melakukannya," jangan takut. Itu bukanlah akhir, melainkan awal kehidupan yang sejati.
Ketika rasa "aku" dan rasa memiliki sirna, jiwa menjadi ringan. Bukan karena menyerah, melainkan karena mengenal.