Tidak Enak: Bukan Landasan Kebaikan, Melainkan Topeng Ketakutan
"Tidak enakan jangan dijadikan landasan." Kalimat sederhana dari sepupu sekaligus atasan saya ini, awalnya terdengar seperti nasihat biasa. Namun, kata-kata tersebut perlahan menjadi tamparan halus bagi kebiasaan buruk yang selama ini saya tutupi dengan dalih "menjaga perasaan." Ternyata, "tidak enak" seringkali menjadi topeng yang menutupi ketakutan dan ketidakberanian untuk berpihak pada kebenaran.
Kita seringkali menganggap perasaan "tidak enak" sebagai bentuk empati. Padahal, seringkali diam karena "tidak enak" adalah bentuk lain dari persetujuan terhadap kesalahan. Kita tahu suatu keputusan salah, kita sadar langkah tersebut salah arah, namun kita membiarkannya terjadi. Bukan karena setuju, melainkan karena takut kehilangan kenyamanan sosial dan menghindari konflik.
Contohnya, ketika menyaksikan kecurangan, kita memilih diam karena "tidak enak" pada pelakunya. Dengan diam, kita ikut terlibat dan mengendos tindakan tersebut. Atau, ketika sebuah keputusan akan merugikan tim, kita tetap menyetujuinya karena "tidak enak" menolak usulan atasan, padahal hati kita menolak. Ini bukan soal sopan santun semata, melainkan soal keberanian untuk memihak kebenaran.
"Tidak enak" seringkali menjadi topeng yang menyembunyikan berbagai hal. Kadang, ia menutupi rasa takut untuk menghadapi konsekuensi dari kejujuran. Kadang, ia merupakan cara untuk menyelamatkan diri sendiri dari konflik dan perasaan bersalah jangka pendek. Namun, kenyamanan sesaat ini justru dapat merusak keadilan, meruntuhkan profesionalitas, dan menghancurkan hubungan jujur antar manusia.
Apa artinya sebuah relasi jika kejujuran tidak punya tempat di dalamnya? Jika kebenaran harus kalah oleh rasa "tidak enak," maka keadilan akan rusak, profesionalitas akan runtuh, dan hubungan yang tulus akan hancur. Sepupu saya benar. "Tidak enak" bukanlah landasan yang bijak. Kebenaran, betapapun pahitnya, harus tetap memiliki suara. Membiarkan ketidakbenaran terjadi karena "tidak enak" hari ini, mungkin akan membawa penyesalan yang mendalam di masa depan—dan saat itu, mungkin tidak ada lagi orang yang cukup "enak" untuk diajak bicara.