Kita hidup di era yang mengagung-agungkan toleransi. Kata itu bergema di mana-mana, menjadi standar moralitas baru. Ironisnya, toleransi yang kita pahami seringkali terbalik. Kita lebih ramah kepada mereka yang berbeda keyakinan, bahkan sampai mengabaikan saudara seiman sendiri. Senyum lebar terkembang untuk yang tak seiman, sementara tatapan curiga dilayangkan kepada sesama Muslim yang mungkin berbeda pendapat atau pandangan.
Bayangkan skenario ini: Anda melihat seseorang yang beribadah dengan khusyuk, menjalankan shalat lima waktu, namun Anda langsung berprasangka buruk. Namun, ketika berhadapan dengan mereka yang berbeda keyakinan, Anda tiba-tiba menjadi pribadi yang penuh pengertian dan ramah. Apakah ini toleransi sejati?
Toleransi bukanlah tentang mengabaikan identitas dan keyakinan kita sendiri demi mendapat pujian dari orang lain. Toleransi sejati dimulai dari rumah kita sendiri, dari saudara seiman kita. Menghargai perbedaan pendapat di antara sesama Muslim, saling menghormati, dan saling mengasihi adalah pondasi toleransi yang kokoh. Bukankah kita diajarkan untuk berbuat baik kepada semua orang, tetapi cinta dan loyalitas kita ditujukan kepada mereka yang menyembah Tuhan yang sama?
Ulama Salaf telah mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada semua, namun cinta dan kesetiaan kita hanya untuk mereka yang beriman kepada Allah SWT. Namun, kita seringkali terbalik. Kita lebih ramah kepada mereka yang berbeda keyakinan, sementara mengabaikan bahkan menjauhi saudara seiman kita sendiri.
Apakah kita telah salah mengartikan toleransi? Apakah kita mengira semakin jauh kita dari sesama Muslim, semakin dekat kita kepada Tuhan? Toleransi yang kita agungkan hari ini jangan sampai menjadi kosmetik, yang hanya membuat kita terlihat baik di mata orang lain, tetapi mengorbankan identitas dan keyakinan kita sendiri.
Toleransi bukanlah pelampung yang membuat kita tenggelam dalam identitas sendiri. Toleransi adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan sesama manusia, tanpa harus mengorbankan keyakinan dan jati diri kita. Mari kita bangun toleransi yang sejati, yang dimulai dari menghargai dan mengasihi saudara seiman kita, sebelum menjangkau mereka yang berbeda keyakinan. Jangan sampai kita kehilangan saudara kita sendiri dalam mengejar pujian dari mereka yang tak akan pernah bersama kita di akhirat kelak.