Keboncinta.com-- Surat Yusuf bukan hanya kisah sejarah seorang nabi, tetapi juga potret psikologis yang sangat dalam tentang dinamika keluarga. Salah satu tema terkuatnya adalah rasa iri hati antar saudara (sibling rivalry)—emosi yang jika tidak dikelola, dapat melahirkan kezaliman dan penyesalan panjang.
Al-Qur’an menggambarkan kecemburuan saudara-saudara Nabi Yusuf dengan sangat jujur: “Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya lebih dicintai ayah kita daripada kita, padahal kita adalah satu golongan” (QS. Yusuf: 8). Ayat ini menunjukkan bahwa iri hati sering berakar pada persepsi ketidakadilan, bukan selalu pada fakta objektif. Dalam psikologi modern, persepsi inilah yang memicu emosi negatif dan perilaku agresif.
Kesalahan para saudara Yusuf bukan sekadar merasa iri—karena emosi bisa muncul secara alami—melainkan membiarkan iri berubah menjadi niat jahat. Mereka merencanakan pemisahan Yusuf dari ayahnya (QS. Yusuf: 9). Al-Qur’an mengajarkan bahwa emosi yang tidak dikelola akan mencari pembenaran rasional, bahkan dengan dalih kebaikan.
Menariknya, Surat Yusuf juga menampilkan sikap Ya’qub ‘alaihis salam sebagai orang tua. Beliau tidak mengekspresikan cinta secara berlebihan di depan anak-anak lain dan menasihati Yusuf agar tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya (QS. Yusuf: 5). Ini mengandung pelajaran parenting penting: orang tua perlu peka terhadap potensi kecemburuan dan menjaga keseimbangan kasih sayang.
Dari sisi Yusuf, Al-Qur’an memperlihatkan ketangguhan emosional. Ia tidak tumbuh menjadi pribadi pendendam meski mengalami pengkhianatan keluarga. Ketika memiliki kekuasaan, Yusuf justru memaafkan: “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian” (QS. Yusuf: 92). Sikap ini menunjukkan kecerdasan emosional tingkat tinggi—mengelola luka batin tanpa membiarkannya menguasai diri.
Dalam perspektif Islam, solusi atas iri hati bukan sekadar menekan emosi, tetapi membersihkan hati (tazkiyatun nafs). Rasulullah ﷺ bersabda: “Jauhilah hasad, karena hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” (HR. Abu Dawud). Hadits ini menegaskan bahwa iri hati merusak bukan hanya relasi, tetapi juga nilai spiritual seseorang.
Surat Yusuf mengajarkan bahwa keluarga adalah ladang ujian emosi. Dengan iman, keadilan, dan pengelolaan hati yang baik, rasa iri dapat diubah menjadi pelajaran kedewasaan. Kisah ini menegaskan bahwa pemenang sejati bukan yang paling dicintai, tetapi yang paling mampu menjaga hati.