Lifestyle
Vini Dwi Jayati

Memendam Perasaan: Kuat atau Justru Melelahkan?

Memendam Perasaan: Kuat atau Justru Melelahkan?

22 Desember 2025 | 18:45

Keboncinta.com-- Akhir-akhir ini, fenomena memendam perasaan kembali hadir di tengah kalangan Gen Z dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang beranggapan bahwa diam berarti kuat. Pertanyaannya, benarkah diam selalu menunjukkan kekuatan, atau justru menjadi sesuatu yang melelahkan?

Apa Itu Memendam Perasaan?

Memendam perasaan adalah sikap menahan emosi, pikiran, atau isi hati yang sebenarnya ingin disampaikan, tetapi sengaja disimpan di dalam diri. Perasaan yang dipendam bisa berupa sedih, marah, kecewa, takut, atau bahkan rasa sayang. Biasanya, seseorang memilih memendam perasaan karena merasa belum siap, takut disalahpahami, atau ingin terlihat kuat di hadapan orang lain.

Ada beberapa alasan mengapa seseorang memilih diam, di antaranya:

  1. Takut melukai atau mengecewakan orang lain, merasa kejujurannya justru akan memperburuk keadaan.
  2. Takut tidak dipahami, khawatir perasaan yang diungkapkan dianggap berlebihan atau tidak penting.
  3. Ingin menjaga hubungan tetap baik, sehingga memilih diam demi menghindari konflik.
  4. Terbiasa menyelesaikan semuanya sendiri, menganggap bahwa bercerita bukanlah solusi.
  5. Lelah menjelaskan, terutama jika sebelumnya pernah diabaikan atau tidak didengarkan.

Apakah salah satu alasan di atas pernah membuatmu lebih memilih memendam daripada mengungkapkan?

Memendam Perasaan sebagai Bentuk “Kekuatan”

Dalam banyak situasi, memendam perasaan sering dianggap sebagai tanda kekuatan. Seseorang yang mampu menahan emosinya kerap dipandang lebih dewasa, tenang, dan tidak gegabah. Kekuatan ini terlihat dari kemampuannya menunda luapan emosi demi menghindari dampak yang tidak diinginkan.

Memendam perasaan juga memiliki sisi positif, seperti menahan diri, berpikir lebih matang, dan menjaga situasi tetap kondusif. Dengan diam, seseorang memberi ruang untuk berpikir lebih jernih tanpa emosi yang memuncak.

Memang ada kondisi tertentu di mana diam dibutuhkan, seperti:

  1. Emosi masih terlalu kuat dan berpotensi melukai orang lain.
  2. Situasi tidak aman untuk berbicara secara jujur.
  3. Waktu dan tempat tidak memungkinkan terjadinya komunikasi yang sehat.
  4. Tujuan utama adalah meredakan keadaan, bukan memenangkan perdebatan.

Dalam kondisi-kondisi tersebut, diam bersifat sementara dan memiliki tujuan yang jelas: menunggu waktu yang lebih tepat untuk berbicara.

Ketika Memendam Menjadi Melelahkan

Masalah muncul ketika perasaan terus dipendam dalam waktu yang lama. Emosi yang tidak pernah diungkapkan akan menumpuk dan berubah menjadi beban emosional. Hal ini dapat memengaruhi kesehatan mental, seperti munculnya kecemasan, kelelahan batin, dan perasaan hampa.

Kelelahan ini sering kali tidak terlihat dari luar, karena seseorang tetap tampak baik-baik saja. Namun di dalam, ia terus menahan dan memaksa dirinya untuk kuat. Perasaan yang dipendam juga berisiko meledak secara tiba-tiba, bahkan dipicu oleh hal sepele.

Seiring waktu, memendam perasaan dapat menciptakan jara baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Bukan karena tidak peduli, melainkan karena terlalu banyak yang disimpan sendirian.

Kuat Itu Bukan Selalu Diam

Selama ini, kuat sering dimaknai sebagai kemampuan untuk diam dan menahan segalanya sendiri. Padahal, kuat juga berarti berani jujur pada diri sendiri mengakui lelah, sedih, dan luka yang dirasakan. Kejujuran ini bukan tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk tidak terus berpura-pura baik-baik saja.

Kekuatan sejati adalah kemampuan menjaga diri tanpa melukai orang lain: tahu kapan harus menahan diri, dan tahu kapan perlu berbicara. Diam memang bisa menjaga keadaan tetap tenang, tetapi memendam tanpa kejujuran hanya akan melelahkan.

Tidak semua perasaan harus dipendam sendirian. Ada kalanya, mengungkapkan perasaan dengan cara dan waktu yang tepat justru menjadi bentuk paling jujur dari keberanian.

Tags:
Kesehatan Mental Refleksi Diri Memendam Perasaan Emosi Terpendam Belajar Jujur

Komentar Pengguna