Keboncinta.com-- Sedari dulu, manusia tertarik pada konsep mencintai dan menghargai diri sendiri. Cinta diri dianggap penting untuk membangun kepercayaan diri, kesehatan mental, dan kualitas hidup.
Namun, ketika penghargaan terhadap diri berubah menjadi obsesi berlebihan, muncul kondisi yang dikenal sebagai narsisme.
Mitos Narcissus dari Yunani Kuno menjadi simbol klasik tentang bahaya keterlibatan diri yang ekstrem.
Kisah ini kemudian menjadi fondasi bagi pemahaman modern mengenai narsisme, yang kini dipelajari secara ilmiah dalam bidang psikologi.
Dalam kajian psikologi, narsisme bukan sekadar istilah populer. Psikolog mendefinisikannya sebagai gambaran diri yang berlebihan, disertai keyakinan bahwa seseorang lebih menarik, lebih pintar, dan lebih penting dibandingkan orang lain.
Baca Juga: Libur Nataru untuk Guru? Kemendikdasmen Tegaskan SE 14/2025 Hanya Atur Kegiatan Murid
Individu dengan sifat narsistik merasa pantas mendapatkan perlakuan istimewa serta sangat bergantung pada validasi eksternal.
Secara umum, narsisme terbagi menjadi dua bentuk utama, yakni narsisme grandios dan narsisme rentan. Narsisme grandios ditandai dengan sifat ekstrovert, dominan, dan haus perhatian.
Individu dengan tipe ini sering ambisius, berorientasi pada kekuasaan, dan kerap ditemukan dalam peran publik seperti politisi, selebriti, atau pemimpin budaya.
Sementara itu, narsisme rentan cenderung lebih pendiam dan tertutup. Meski tampak rendah hati, individu dengan tipe ini menyimpan rasa hak yang kuat, sensitif terhadap kritik, serta mudah merasa terancam atau tersinggung oleh lingkungan sekitarnya.
Di balik pesona kepercayaan diri, narsisme memiliki sisi gelap yang sering muncul dalam jangka panjang.
Baca Juga: Kenaikan Gaji PNS 2026 Jadi Agenda Nasional, Keputusan Final Segera Ditentukan
Individu narsistik cenderung egois, mengabaikan kebutuhan orang lain, dan kerap mengambil keputusan yang berisiko atau tidak etis.
Dalam hubungan interpersonal, mereka dapat bersikap manipulatif, sulit setia, dan kesulitan mempertahankan komitmen jangka panjang.
Ketika citra diri mereka dipertanyakan atau dikritik, respons yang muncul sering kali berupa kemarahan, agresivitas, hingga dendam.
Pada tingkat yang lebih ekstrem, narsisme dapat berkembang menjadi Gangguan Kepribadian Narsistik atau Narcissistic Personality Disorder (NPD).
Gangguan ini diperkirakan memengaruhi sekitar satu hingga dua persen populasi dan lebih sering terjadi pada pria.
Orang dewasa lebih rentan mengalami NPD dibandingkan anak-anak atau remaja karena pola kepribadian cenderung lebih stabil pada usia dewasa.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), ciri utama gangguan kepribadian narsistik meliputi pandangan diri yang sangat tinggi, kurangnya empati, rasa hak berlebihan, serta kebutuhan konstan akan kekaguman dan perhatian.
Para ahli menyebutkan bahwa narsisme terbentuk melalui kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Pola asuh, nilai budaya, serta pengalaman hidup berperan besar dalam membentuk kecenderungan narsistik.
Budaya yang menekankan individualisme dan promosi diri, misalnya, dapat meningkatkan prevalensi sifat ini.
Perkembangan media sosial juga memudahkan individu menampilkan dan mempromosikan diri. Meski demikian, belum ada bukti kuat bahwa platform digital secara langsung menyebabkan narsisme meningkat secara signifikan.
Meski memiliki sisi merugikan, individu dengan sifat narsistik tetap dapat ditangani. Psikoterapi dan latihan belas kasih dapat membantu membangun refleksi diri yang lebih sehat serta meningkatkan empati.
Tantangan terbesarnya adalah kecenderungan mereka yang sulit menerima kritik dan enggan mencari bantuan profesional.
Memahami narsisme secara menyeluruh menjadi langkah penting dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Ketika cinta diri berubah menjadi dominasi dan eksploitasi, dampaknya dapat meluas ke ranah sosial, profesional, hingga struktur masyarakat.
Oleh karena itu, keseimbangan antara penghargaan diri dan kepedulian terhadap orang lain menjadi kunci kesehatan psikologis bersama.
Meski memiliki sisi merugikan, individu dengan sifat narsistik tetap dapat ditangani. Psikoterapi dan latihan belas kasih dapat membantu membangun refleksi diri yang lebih sehat serta meningkatkan empati.
Tantangan terbesarnya adalah kecenderungan mereka yang sulit menerima kritik dan enggan mencari bantuan profesional.
Memahami narsisme secara menyeluruh menjadi langkah penting dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Ketika cinta diri berubah menjadi dominasi dan eksploitasi, dampaknya dapat meluas ke ranah sosial, profesional, hingga struktur masyarakat.
Maka dari itu, keseimbangan antara penghargaan diri dan kepedulian terhadap orang lain menjadi kunci kesehatan psikologis bersama.***